My Story
(Ceriteraku)

Autobiography in the Indonesian Language by
Mrs M.C.J. Ratulangie-Tambajong
My Roots and Young Years
My Husband
Our Efforts
The Storm of the Second World War
The Last Years
RIWAYAT HIDUP
Ibu M.C.J. Ratulangie-Tambajong
(Otobiografi)
Janda dari Almarhum Dr. G. S. S. J. Ratulangie (Pahlawan Nasional)
Lihat juga: “ANALISA SOSOK Maria Catharina Josephina Ratulangie-Tambajong”
KELAHIRAN DAN KETURUNAN
Saya anak ke tujuh dan putri ketiga dari Bapak Jan Nicolaas Tambayong dan Ibu Fransina Everdina Lefrandt, dilahirkan pada tanggal 2 Maret tahun 1901. Ayah saya berpangkat Hukum Besar seperti dalam zaman penjajahan seorang Patih di pulau Jawa. Ayah saya ada keturunan dari Dotu – Dotu kami yang memerintah rakyatnya langsung dengan nama dulu “Kepala Balak”. Ayah adalah keturunan kelima, kakek ayah saya dalam abad ke 18 baru dinasranikan menganut Agama Kristen dengan nama “Yurian Benyamin”. Dalam zaman sebelum penjajahan mereka memerintah rakyatnya sebagai Raja – Raja. Baru dalam masa Hindia Belanda mereka dijadikan pegawai – pegawai dengan mendapat gaji.
Karena keturunan dan kedudukan orang tua kami maka kami diperbolehkan masuk sekolah Belanda, dan harus berbahasa Belanda dirumah, yang sangat saya sesalkan tidak dapat berbahasa daerah. Ditempat kediaman orang tua kami di Amurang tidak ada sekolah Belanda dan oleh karena itu harus “indekost” pada seorang Bibi dan Nenek di kota Menado.
Dalam waktu liburan besar kami dijemput oleh dua orang bapak yang sangat dipercayai oleh orang tua kami dan begitu pula kami diantar kembali untuk bersekolah lagi. Jarak yang harus kami tempuh adalah 60 Km, perjalanan ini kami tempuh dalam waktu 24 jam. Perjalanan kami dilakukan dengan “Sleeping Car” atau rodaper yang namanya sudah jelas kiranya, satu gerobak diatas dua buah roda dan ditarik oleh dua ekor sapi jantan. Karena perjalanan yang memakan waktu sangat lama maka kami dibeberapa tempat beristirahat dan pada waktu itu kami makan bekal kita dan sapi – sapi pun berkesempatan istirahat.
Setelah satu hari satu malam kami diperjalanan, baru kami tiba ditempat tujuan kami ditangan seorang Bibi dan Nenek yang berkewajiban mengasuh kami. Baru kira – kira di tahun sepuluhan (Red. 1910) seorang beruang mengimport sebuah mobil, dan tanah Minahasa membuka pintu lebar – lebar untuk memodernisasi dan memekanisasi alat – alat lalu lintasnya.

Foto kami tujuh dari sepuluh bersaudara, bersama keponakan
Pada suatu hari dalam keadaan sunyi dan sepi dikelas sekolah kami dikejutkan oleh satu bunyian yang sangat keras seperti lonceng besar, semua anak dan guru turun kepekarangan untuk menyaksikan sebuah benda besar diatas empat roda, penuh dengan kuningan melebur dengan megahnya dijalan yang sepi itu. Sekarang berpuluh – puluh Minibus dengan memasang kast tapenya memenuhi jalan ini. Waktu jarak Amurang – Menado yang dulu ditempuh dalam waktu 24 jam, sekarang oleh Minibus bisa dicapai dalam waktu 2 jam bolak – balik berapa kali penuh dengan penumpang dengan pakaian berwarna – warni up to date menurut mode yang mutakhir, dan dari sana dapat disaksikan pemandangan – pemandangan yang sangat indah.
MASA REMAJA
Setelah Sekolah Dasar Eerste Europeesche Lagere School telah saya lalui, dan setelah Kepala Sekolah saya memperbolehkan saya turut serta dalam ujian masuk sekolah lanjutan atau Hogere Burgerschool, dan setelah lulus diperbolehkan orang tua saya meneruskan pelajaran di Pulau Jawa atau Jakarta dimana abang saya sudah berada.

Mula – mula cita-cita saya adalah menjadi dokter, karena ini adalah suatu profesi untuk menolong sesama manusia. Tetapi pelajaran untuk menjadi dokter ini memakan waktu sepuluh tahun dan menurut faham saya adalah terlalu lama. Oleh sebab itu saya masuk sekolah lanjutan atau MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan pada waktu itu saya mondok dengan kurang lebih lima puluh wanita dan gadis – gadis dari seluruh pelosok Indonesia, baik yang datang untuk bekerja ataupun untuk menambah pengetahuan mereka di satu asrama.

Foto saya didepan rumah di Amurang
Asrama ini bernama Vrouwenbond dan terletak dimuka Katedral. Disana pergaulan antara kami sangat mengesankan dan berada di bawah asuhan seorang perawat Belanda. Kami mendapat pendidikan jasmani rohani yang diperlukan untuk bekal hidup dikemudian hari. Sesudah mendapat ijazah MULO saya meneruskan pelajaran saya Christelijke Salemba School untuk menjadi guru.
Dalam waktu 2 tahun setelah mendapat ijazah dari Departement van Onderwijs en Eredienst saya ditempatkan di Hollands- Chinese School di Menado dan tahun berikutnya saya ditempatkan di Tweede Europeesche Lagere School. Baru dua tahun saya berada di daerah saya, saya sudah harus kembali ke Jakarta karena surat permohonan saya ke Dep. O & E untuk diizinkan mendapatkan Hoofdakte dikabulkan.
Suasana Batavia ditahun 20-an
Pada tahun duapuluhan, Belanda mendirikan sebuah sekolah untuk anak – anak bumiputera: sekolah dokter Jawa, yang kemudian diganti namanya School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA. Sekolah yang juga berasrama ini dalam waktu bertahun – tahun berhasil mendidik beribu-ribu dokter. cendekiawan, yang terpencar diseluruh Tanah Air. Dalam sarana ini siswa – siswa hidup semula berkelompok menurut daerah atau wilayah darimana mereka berasal dan suatu muncullah kelompok – kelompok dengan nama Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dsb. Siswa – siswa ini tidak ditagih uang sekolah atau uang asrama malahan mendapat uang saku dan uang makan yang sangat minim.
Beratus – ratus siswa datang dari berbagai suku dengan bermacam – macam adat istiadat dalam satu wadah. Demikianlah dengan adanya siswa – siswa yang tidak semua serba penurut, sedangkan guru – guru, yang juga datang dari atau berasal dari Belanda kemungkinan terjadinya kesalah-fahaman antar siswa atau antara siswa dan guru tak dapat dielakkan.
Disiplin dipegang teguh oleh guru – guru Belanda dan siapa tidak tahan disiplin sekeras itu harus “de laan uit” atau dikeluarkan. Yang sangat melukai siswa -siswa ini adalah perkataan ejekan “Inlander” yang dipergunakan penjajah untuk memaki – maki siapa saja yang tidak menuruti mereka.
Lambat laun rasa persaudaraan dibangkitkan dan pada tahun 1928 dicetuskan keinginan atau kehendak siswa – siswa ini dalam “SUMPAH PEMUDA” : SATU BANGSA, SATU BAHASA DAN, SATU TANAH AIR oleh Soetomo dan kawan – kawan. Perasaan ini dinyatakan dalam hati sanubari pemuda pemudi bangsa Indonesia, dan dengan demikian kita telah mempunyai satu front terhadap penjajah yang dalam tahun – tahun berikutnya diperkuat pula.
Seperti tertulis diatas maka setelah saya menjadi guru dua tahun di Tweede Europeesche Lagere School di Manado, saya mengirim sebuah request atau surat permohonan kepada Dep. O en E meminta dipindahkan ke suatu kota besar dimana saya mendapat kesempatan belajar untuk memperoleh ijazah “Hoofdakte” dan saya dipindahkan ke Vierde Lagere School di Ujung Surabaya untuk memberi pelajaran kepada anak-anak pelaut – pelaut Belanda.
Tak lama saya berada disekolah itu, dan dalam tahun yang bersejarah bagi pemuda pemudi Indonesia tahun 1928 saya mengambil keputusan meletakkan jabatan saya sebagai guru untuk memasuki “hidup baru”……..
Suami saya

Sampai pada saat itu hidup saya berjalan lancar dan mempunyai banyak kawan – kawan wanita dan pria, tetapi hidup saya kemudian diliputi awan – awan yang sifatnya tak jelas terlihat.
Suami saya adalah anak pria satu – satunya dari Bapak Josias Ratulangie dan Ibunya Agustina puteri dari Mayoor Gerungan. Bila seorang Hukum Besar berjasa maka ia memperoleh gelar Mayoor. Ayahnya: Jozias adalah seorang guru dengan kecakapan yang sangat tinggi. Adapun waktu itu pemerintah Hindia Belanda mengambil keputusan untuk memilih dari tiap – tiap pulau seorang guru yang terbaik untuk dikirim ke negeri Belanda untuk meneruskan pelajaran di negeri itu.
Josias Ratulangie terpilih selaku guru terbaik di Minahasa dan dikirim kenegeri Belanda. Setelah memperoleh Ijazah Hoofdakte beliau kembali ke tanah air, dan menjadi Kepala Sekolah dari Hoofdenschool, yakni sekolah untuk anak – anak bangsawan atau raja – raja yakni para kepala pemerintahan di Minahasa.
Masa kecil dan remajanya
Sam, nama kecil suami saya, adalah satu – satunya anak lelaki dan yang bungsu dikirim ke Pulau Jawa untuk meneruskan pelajarannya di kota Jakarta. Mula – mula cita – citanya juga ingin jadi dokter, akan tetapi niatnya ini berobah dan ia memilih memasuki sekolah Koningin Wilhelmina School (K. W. S.), satu sekolah teknik di Jakarta, dan ia masuk asrama “Beck Volten”. Akan tetapi Sam tidak kerasan tinggal dilingkungan yang baru ini.
Ia rindu kepada orang tuanya, kakak – kakaknya, dan terutama kepada kudanya. Kuda ini adalah satu hadiah dari ayahnya pada ulang tahun yang ke 13. Kuda ini harus ia asuh sendiri, memandikannya dikali, mencari rumput untuknya dan setiap ada waktu terluang ia menaiki punggung kuda kesayangannya dan dengan kecepatan yang tinggi ia meluncur dijalan-jalan kota Tondano ataupun disekeliling danau Tondano. Kerinduan ini membuatnya berupaya untuk pulang saja.

Bersama sepupunya sewaktu Sam sekolah di Minahasa
Untuk memperoleh bekal makan diperjalanan pulang yang di perlukan, tiap pagi ia sisihkan dan menyimpan satu potong roti kadet, dan sesudah ia merasa cukup mempunyai bekal ia menuruti niatnya. Ia tahu bahwa ia harus mengikuti rel kereta api yang akan membawanya ke Tanjung Priok dimana banyak berlabuh kapal – kapal yang salah satunya akan membawanya pulang kerumah. Tetapi apa yang terjadi ? Kereta api ke Priok harus melewati rumah pamannya, dan kebetulan Sam kepergok olehnya dan dipanggil kerumahnya dan harus ceritakan apa niatnya dan akhirnya ia dikembalikan ke asrama Beck en Volten.
Pada saat-saat itu rumah keluarga Ratulangie di Tondano berada dalam keadaan gawat karena surat dimana Sam menulis niatnya kepada Ibunya telah sampai ketangannya. Denan, seorang pemuda kuat dan kekar dikirim ke Jakarta untuk membawa kembali anak Sam, akan tetapi setelah Denan sampai di Jakarta, Sam sudah mulai kerasan sehingga Denan kembali dengan tangan hampa ke Tondano.
Merasakan Diskriminasi Ras
Setelah belajar tiga tahun di KWS., ia memperoleh Ijazah sebagai masinis dan ditempatkan pada pembuatan jalan kereta api dari Garut ke selatan melalui Rawah Lakbok ke Maos dan akhirnya ke Cilacap. Disinilah Sam merasakan diskriminasi ras oleh penjajah yang melukai perasaan orang Indonesia. Meskipun orang Indonesia nyatanya bekerja lebih baik, lebih pintar dari yang lain, maka seorang yang mempunyai nama yang berbunyi ke-Belanda-Belandaan akan dinilai lebih tinggi dari seorang Indonesia.
Ini dialami Sam juga dalam pekerjaannya. Seorang sekawan sebangku yang namanya ke Belandaan menerima gaji lebih besar dari Sam walaupun raut mukanya lebih hitam dari padanya dan tingkah lakunya kampungan. Sehingga yang satu dapat tinggal di hotel atau losmen dan Ratulangie tinggal di kampung pondok Bang Amat. Hal ini dirasakan betul – betul waktu ia terserang penyakit malaria tropika.
Waktu penyakitnya memuncak dan suhu panasnya naik sangat tinggi ia berjanji pada dirinya bahwa ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menuntut ilmu dan pelajaran, tidak hanya setarap orang Belanda tetapi harus melebihinya. Kesempatan untuk bertindak datang juga.
Berangkat ke Eropa
Dari Tondano ia menerima kabar bahwa ibunya yang sangat dicintainya telah meninggal dunia, sedangkan ayahnya sudah mendahului ibunya. Ia berangkat ketempat kelahirannya Tondano. Harta kedua orang tuanya dibagi diantaranya dan kedua saudaranya perempuan yang lebih tua dan berangkatlah ia ke negeri Belanda dan kemudian ke Eropah dengan tujuan yang belum menentu.
Apa yang telah diperbuat dan diperolehnya saya kira sudah diketahui oleh umum ialah bahwa pada perang dunia ke satu, ia melamar sebagai wartawan dan berangkatlah ia ke medan peperangan hanya untuk menambah nafkah untuk hidup selanjutnya kelak. Setelah ia kembali ke negeri Swiss dengan tabah ia berupaya untuk memperoleh Ijazah sebagai Doktor dalam ilmu pasti dan alam.
Catatan: Ada Post tersendiri “Sam Ratu Langie belajar di Eropa”
Kembali di Tanah-air
Setelah kembali ketanah air, oleh pemerintah Hindia Belanda ia diangkat sebagai guru Algemene Middlebare School (AMS) di Yogyakarta. Hal ini membangkitkan amarah yang sangat dari orang Belanda. Tidak masuk diakal mereka bahwa anak-anak mereka akan mendapat pelajaran dari seorang “Inlander”.
Yang paling membencinya adalah Zentgraaf, pemimpin surat kabar Belanda “Het Niews van den Dag”. Setiap ada kesempatan olehnya dipakai untuk mengejek atau memaki – maki Ratulangie. Sehingga pada suatu hari Ratulangie naik pitam. Ia memasuki kantor Zentgraaf, mengunci pintunya, duduk berhadapan dengan Zentgraaf, menarik dari sakunya sebuah pistol, diletakkannya pistol itu diatas meja dan berkata kepada Zentgraaf, “Nah Zentgraaf, laksanakanlah kehendakmu”.
Setelah kejadian ini ia meletakkan jabatannya sebagai guru dan berangkatlah ia ke Bandung dimana beliau dirikan Maskapai Assuransi “Indonesia”.
Dua tahun kemudian ia kembali ke daerahnya Minahasa dimana ia bekerja sebagai sekretaris Minahasa Raad, atau Dewan Minahasa. Disini ia berupaya dan berhasil menghapuskan “Herendiensten”, atau kerja paksa tanpa upah, yang dikenakan terhadap setiap orang yang berdiam di Minahasa.
Suasana di Manado

Beliau juga yang mengurus dan mengantar para transmigran – transmigran dari daerah sekitar Danau Tondano ke Minahasa Selatan dan ke daerah Modoinding dan Dumoga dimana mereka cari kehidupan yang baru. Upaya ini juga berhasil dengan baik. Namun dimata penjajah yang mendapat nama baik bukan Ratulangie akan tetapi seorang asisten residen dan seorang controleur berbangsa Belanda.
PERIHAL “KOLONISASI” kedaerah Modoinding
Perjuangan kami
Dalam tahun 1927 Sam Ratulangi dipilih oleh rakyat Minahasa sebagai anggauta Volksraad,atau Dewan Perwakilan Rakyat se Indonesia bertempat di Batavia. Dalam Maiden Speech-nya ia mengemukakan pendapatnya mengenai kedudukan negara kita terhadap dunia internasional. Jawaban dari pemerintah Belanda adalah bahwa pidato Dr. Ratulangie berbau “Moskou” atau sindiran seakan-akan Dr. Ratulangie adalah seorang komunis yang sangat ditakuti oleh bangsa kita.
Ratulangi tidak terlepas dari pandangan tajam pers putih dan kaum Belanda, yang lagi-lagi dikepalai oleh Zentgraaf yang terkenal sebagai seorang Inlander Hater (pembenci inlander) yang dimaksud : pembenci bangsa Indonesia. Pada suatu hari muncullah dalam surat kabar iklan pernikahan kami. Pada keesokan hari terdapat dalam surat kabar Belanda berita : Dr. Ratulangi telah menikah dengan “een inlandsche vrouw” seperti terlebih dahulu sudah saya katakan maka perkataan si penjajah ini terhadap kita dianggap suatu penghinaan yang besar.
Mula – mula Dr. Ratulangie menikah dengan Ny. Dr. Suze Houtman seorang psychiater yang terkenal pada zaman itu. Mereka bercerai dan oleh pengadilan kedua orang anaknya Oddi dan Zus diserahkan asuhan dan pemeliharaannya dalam tangan ayah mereka dan dengan demikian setelah memasuki hidup baru saya telah dianugrahkan dua orang anak untuk dipelihara, yang masing-masing berumur hampir lima tahun dan empat tahun.
Pada suatu hari, pada saat tenang dan senang, berkatalah saya seperti berikut kepada suami saya “Saya harap engkau dapat memahami keadaan keluargamu saat ini. Saya boleh dikata hampir sepuluh tahun bekerja sebagai seorang guru dan pada saat ini setelah menikah dengan engkau saya juga serentak dianugrahkan dua orang anakmu. Bila dikemudian hari mereka menjadi orang terpandang dalam masyarakat maka orang akan berkata: sudah tentu inilah berkat ayah mereka, dan bila terjadi sebaliknya maka si ibu akan dicaci maki sebagai seorang ibu tiri yang jahat. Jadi engkaulah yang harus bertindak”.
Ia memang seorang suami yang bijaksana dan sangat mencintai istri dan anak – anaknya. Bila ia bepergian dan saya bersama anaknya sendirian tetap ia berpesan kepada saya : “Jagalah anak sebaik – baiknya”. Bila anak – anaknya menghendaki sesuatu dari padanya selamanya ia berkata : Tanyakan saja kepada Tjenny, karena ia menganggap seorang kakak mereka, dan dalam pendidikan anak – anak dan urusan rumah tangga sayalah mengambil keputusan terakhir setelah mempertimbangkan segala – galanya.
Volksraad
Waktu Dewan Volksraad di bentuk maka kepada anggauta – anggautanya dipersilahkan membuat kelompok – kelompok dan daftar urut dengan nama empat orang anggauta yang nantinya akan mewakili mereka yang telah kembali kedaerah masing – masing. Yang pertama didalam tiap – tiap daftar telah dipilih duduk dalam satu College van Gedelegeerden untuk periode yang pertama. Bila dari daftar ini yang pertama misalnya mengundurkan diri atau meninggal maka yang nomor dua akan menggantikannya. Begitu juga seterusnya, maka suami saya oleh kawan – kawannya ditempatkan pada nomor dua.
Oleh sebab anggauta pada nomor pertama oleh pemerintah segera diangkat sebagai Lid van Raad van Indie dan ia sebagai nomor dua akan menggantikannya. Suami saya telah meletakkan jabatannya sebagai sekretaris Minahasa Raad. Anggauta yang akan menggantikannya sebagai Lid van Raad van Indie berangkat kenegeri Belanda, tetapi tidak melepaskan keanggautaan College van Gedelegeerden.
Pengalengan
Dengan demikian maka kami dalam keadaan kesulitan keuangan karena dalam setahun Volksraad bersidang hanya selama empat bulan dengan mendapat uang sidang untuk tiap hari sidang 45 Gulden. Kami putuskan untuk pindah ke Pengalengan sebuah desa di Jawa Barat terletak diantara kebun teh dan karet. Disini suami saya dan saya bersama kedua anak mendiami sebuah pondok kecil. Kedua anak saya mendapat pelajaran dari saya dibawah pohon cemara dalam alam yang sejuk dan indah, sambil saya menunggu kelahiran bayi kami yang pertama.
Pada suatu hari kelihatan bahwa suami saya kelihatan tidak begitu segar. Iapun berkata: “Sebentar lagi saya akan ke Batavia, saya akan pergi kehotel Des Indes dimana saya akan bertemu dengan seorang Amerika, dan saya tidak tahu apa saya akan kembali atau tidak.” Saya telah mengetahui bahwa ia berada dalam suatu keadaan krisis. Berkatalah saya kepadanya “Bila kesulitan telah memuncak, maka pertolongan sudah dekat” “Ah,” jawabnya, “engkau dengan slogan-slogan Kristianimu …”
Setelah mendengar ucapan ini saya bangkit dari kursi dan memasuki kamar kami serta membuka lemari saya dan mengambil sesuatu benda dari sebuah kotak, sebuah kalung emas hadiah dari abang saya pada hari ulang tahun ke 18. Benda tersebut saya letakkan ditangannya dengan ucapan “Berbuatlah sekehendakmu dengan ini” dan berangkatlah ia dengan bus ke Bandung untuk meneruskan perjalanannya ke Jakarta.
Saya duduk sebentar termenung diatas kursi, fikiran-fikiran yang bukan-bukan melintasi otak saya. Saya ulurkan tangan kearah rak buku, mengambil sebuah buku…, dan setelah saya membuka – buka buku itu saya melihat secarik kertas kehijauan, sepuluh Gulden ……. Apakah itu bukan suatu keajaiban ? Saya hanya tahu bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah mendengarkan permohonan saya, dan selama seminggu, saya dapat hidup bersama anak – anak saya.
Memang hanya Tuhan mengetahui hati sanubari saya. Saya juga tahu bahwa cobaan datang dari pada-Nya, untuk menguji kepercayaan saya. Tidak lama kemudian kami di beri tahu bahwa si Lid van Raad van Indie itu telah meletakkan jabatannya sebagai Lid van het College van Geldelegeerden, dan dengan demikian kami dapat kembali kekota yang lebih besar.
Setelah kami berpamitan kepada pak Camat dan pak Lurah Pengalengan yang telah banyak menolong kami, berangkatlah kami sebenarnya dengan tujuan ke Jakarta. Kami mampir juga di kota Surakarta dimana ada dua saudara saya, dan kami mengambil keputusan untuk tinggal beberapa hari di kota ini. Namun setahun kemudian baru kami meneruskan perjalanan ke Jakarta, setelah anak – anak sudah memasuki Sekolah Dasar Europeesche Lagere School setahun di kota itu.
Kembali di Batavia
Dalam tahun 1932 kami berada di kota Jakarta dimana anak kedua kami dilahirkan. Dengan kedua keluarga kawan – kawan terdekat yaitu keluarga Moh. Thamrin dan Soetardjo Hadikusumo kami bergaul kembali seperti sediakala.
Resepsi peresmian V.I.A.


V.I.A mulai mencari hubungan dengan tokoh-tokoh di luar negeri. Maka diundanglah Presiden Quezon, yakni presiden yang pertama kali di undang ke Indonesia, yakni presiden dari negara tetangga kami Filipina Beliau menerima undangan ini dan beliau menjadi tamu agung anggauta – anggauta perkumpulan ini. The First Lady dari negara ini diundang pula oleh suatu panitia terdiri dari ibu – ibu bangsa Indonesia yang mana juga dipenuhi oleh beliau. Beliaupun diundang dalam suatu restaurant besar dan kepadanya diperlihatkan pelbagai tari-tarian dari beberapa daerah negara kita.
Semua kegiatan internasional ini tidak disukai oleh pihak penjajah. Dan penjajahpun tak berhenti sebelum berupaya dengan pelbagai akal-bulus membungkamkan dan mematikan pengaruh dan suara Ratulangie. Senjata akhirnya didapat oleh Belanda.
Dalam suatu reisdeclaratie yang yang dibuat oleh seorang pegawai dari bagian administrasi yang dipekerjakan pada Volksraad terdapat satu kekeliruan perhitungan dengan perbedaan dari f.100,- (seratus Gulden). Tanpa memeriksanya dengan teliti oleh suami saya ditandatangani deklarasi ini. Hal ini digunakan oleh Belanda sebagai alasan untuk menuduh Ratulangie melaksanakan penggelapan dan membawanya kepengadilan. Tindakan ini oleh seluruh masyarakat Indonesia dirasakan sebagai suatu hal yang dicari-cari oleh penjajah.
Pada suatu hari saya mohon izin suami saya untuk bertemu dengan pengacaranya di Bandung. Sewaktu saya menemui pengacara ini, ia baru kembali dari Jakarta, dan ia ceritakan kepada saya bahwa Ratulangie akan dihukum penjara selama empat bulan dan selama tiga tahun tidak diperbolehkan jadi anggauta Volksraad. Pada saat itu kita sudah pindah ke Sukabumi. Sekembali saya di Sukabumi saya ceritakan apa yang saya dengar dari seorang pengacara Belanda. Yang mengherankan adalah bahwa sebelum perkara ini diperiksa dan disidangkan, oleh pengadilan vonisnya sudah dijatuhkan. Saya menentramkan suami saya dengan ucapan- ucapan : soal ini saya pribadi tidak merasakan sebagai penghinaan dan segala- galanya ini kita akan dapat diatasi.
Keesokan harinya saya lanjutkan perjalanan saya ke Jakarta untuk menemui Mr. Spit, Lid van Raad van Indie. Beliau adalah seorang tokoh pihak Belanda, yang sering bertemu dengan suami saya dan saudara M. H. Thamrin untuk mengobrol di ruang Volksraad. Dari sebuah pesawat tilpun umum saya menilponnya dan mengatakan bahwa saya sangat ingin berbicara sejenak dengannya. Pada waktu yang telah ia tetapkan datanglah saya dirumahnya.
Setelah saya mengambil tempat dikursi saya ceritakan apa yang saya baru dengar dan bahwa kami akan mengambil pengacara dan tidak menunggu saja kami menunjuk seorang pengacara negeri yang sangat lihai. Ia kelihatan terkejut tetapi membentak saya dengan pelbagai perkataan-perkataan.
Jawaban saya kepadanya berbunyi :”Tuan Spit, ini adalah hak kami dan kami akan melihat dikemudian hari.”, dengan jawaban ini saya bangkit dari kursi, meminta diri dan meninggalkan rumahnya. Saya kembali ke Sukabumi dan menceritakannya kepada suami saya, siapa yang telah saya temui dan apa yang telah saya katakan kepadanya. Kami hanya menunggu kejadian-kejadian yang akan datang… . Pada saat itu suami saya sudah mulai mengarang bukunya berjudul “Indonesia in den Pacific”.
Mengenai jalannya sidang ini dan jalannya persoalan ini saya persilahkan membaca riwayat hidup suami saya yang diterbitkan oleh Dewan Pers di Departemen Penerangan. Vonis yang diputuskan sesuai dengan apa yang telah saya dengar. Suami saya menjalankan hukuman penjara di Sukabumi tetapi naskah bukunya sudah selesai dan saya hanya perlu mencari sebuah percetakan.
Saya beserta anak – anak saya mondok di Bandung di rumah abang saya. Percetakan yang bersedia mencetak buku suami saya, saya temui dan bersama seorang kawan yang setia Dr. P. L. Augustin yang selain itu menolong putri kami yang tertua dan yang bungsu, saya mengkoreksi buku “Indonesia in den Pacific, Indonesia in den Branding”.
Tepat pada saat suami saya keluar dari penjara, bukunya dapat terbit dan dikeluarkan dari percetakan dan mulai dijual dengan harga f 2.50 sejilid. Pada tanggal 1 Desember 1937 dummynummer dari majalah berbahasa Belanda yang suami saya terbitkan: Nationale Commentaren (NC), mulai melihat cahaya matahari.
Mulai tanggal 1 Januari 1938 NC yang hanya dikerjakan oleh kami berdua mulai diterbitkan teratur setiap minggu. Sebulan kemudian putri ketiga kami dilahirkan di kota Bandung, dalam suasana hangat kesibukan. Sebagai akibat dari bacaan-bacaan yang didalam majalah ini, pembaca meningkatkan rasa ke-Indonesia-an nya sekaligus meningkatkan rasa sadar diri.
Bangsa kita yang oleh si penjajah tiap – tiap kali dimaki – maki dengan sebutan – sebutan “Stomme Inlander” membaca di NC bahwa diantara si penjajah juga ada “Stomme Hollansche Inlanders”. Dengan demikian maka NC mulai mempunyai pengaruh dalam kalangan bangsa kita, beredar kepelosok tanah air dan jumlah langganan yang semakin menanjak.
Majalah ini baru dihentikan penerbitannya pada waktu Jepang telah menguasai seluruh tanah air kita dan pemerintah Hindia Belanda melarikan diri terbirit – birit sedangkan bangsa kita harus menunggu nasibnya sendiri.
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
Pemerintah Hindia Belanda mempunyai tentara terdiri atas serdadu bangsa kita: KNIL. Karena penjajah berniat mengirim serdadu – serdadu ini keseluruh Indonesia untuk membela kepentingan penjajah, maka isteri dan keluarga mereka di tampung di Tanjung Oost dan Tanjung West, yang terletak di selatan kota Jakarta. Waktu tentara Jepang mendarat, dan suasana menjadi panik penuh frustasi orang – orang mulai keluar dan merampok harta benda siapa saja. Di kamp – kamp Tanjung Oost dan West, wanita – wanita ini dirampok dan mereka lari ke Jakarta, kerumah kami dan memohon bantuan dan pertolongan suami saya. Halaman rumah kami dibanjiri wanita – wanita kebanyakan sambil menggendong atau mendukung anaknya yang sedang menangis karena kehausan dan kelaparan.
Suami saya tidak dapat berbuat apa selain menemui pimpinan tentara Jepang di Jakarta untuk melaporkan kejadian ini. Berkatalah ia : “Saya melaporkan sesuatu hal kepada tuan – tuan : Pemerintah Belanda telah menampung para isteri dari serdadu – serdadunya yang berkebangsaan Indonesia di beberapa tempat di Indonesia. Setelah tentara Jepang mendarat mereka dirampok dan melarikan diri kerumah saya dan ratusan manusia memenuhi pekarangangan saya. Tuan-Tuan dapat memrbuat dua hal : Pertama: Tuan-Tuan dapat menyuruh mereka berdiri di depan Tuan-Tuan dan menembak mereka dengan satu atau dua buah mitralyir serentak Tuan-Tuan memusnahkan jiwa mereka, atau Tuan-Tuan dapat memberi mereka makan. Pimpinan tentara Jepang walaupun dalam keadaan perang saraf yang ke dua, memutuskan untuk memberi mereka 2 (?) gram beras seorang dan 20 sen untuk lauk pauk per hari.
Para Ibu-ibu menari “tarian Jepang” di Tanjung Oost

Hal ini kami terima dengan hati dan tangan terbuka. Semua korban – korban ini kami suruh kembali ketempat masing – masing, dua buah panitia dengan pembantu-pembantunya dibentuk dan mulailah kami bekerja sekuat tenaga kami. Karena terdapat pula banyak anak – anak yang harus disekolahkan, maka kami di kedua kamp itu membuka dua Sekolah Dasar komplit dengan guru – gurunya dan diterima pula anak – anak dari luar kamp. Dimana-mana dibuka kamp-kamp seperti itu dengan pemimpin-pemimpinnya dari suku-suku lain.

PINDAH KE MAKASAR
Pada tahun 1944 pemerintah Jepang memindahkan suami saya beserta keluarga ke Makassar untuk membantu penguasa armada laut Jepang yang menguasai seluruh pulau Sulawesi dan bagian timur Indonesia. Tak lama setelah tentara sekutu melepaskan bom atom di beberapa tempat di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, ternyata TENNO HEIKA menyerah tanpa syarat, Maka tentara sekutu hendak menguasai wilayah kita ini.
Di Makassar berdatanganlah tentara berbangsa Australia dan dibuntuti oleh orang – orang NICA, kembali hendak menguasai kita lagi.
Revolusi berkobar dimana-mana seperti kita semua ketahui. Di wilayah Sulawesi dimana suami saya oleh pemerintah Repunlik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, revolusi bergolak pula dan karena anak-anak Sulawesi bukan serdadu-serdadu dan tidak mempunyai senjata modern ia tidak dapat memproklamasikan secara terbuka kemerdekaan kita mengingat konsekwensinya bahwa pertempuran seluruh Sulawesi Selatan akan berkobar, dan ia memilih jalan perundingan walaupun kita semua ketahui, bahwa kita menghendaki kemerdekaan 100 %.
Para romusha mulai dikembalikan tanpa diberi makanan dan lain sebagainya. Kami membentuk satu panitia untuk mengatasi siatuasi ini. Perkumpulan wanita kami ini kami namakan “PERKUMPULAN PENOLONG SOSIAL”, dan karena kami tidak mempunyai uang maka pada tanggal 21 April 1946, hari lahir Ibu Kartini, kita peringati dengan mengadakan sebuah pameran dan bazaar yang membawa juga uang Nica sekedar untuk keperluan dapur umum yang kami sediakan untuk bekas romusha maupun penganggur lain yang makin hari makin meningkat.
Pada waktu itu keadaan Makassar makin hari makin gawat. Disana sini terjadi bentrokan – bentrokan, misalnya serdadu – serdadu NICA menembak orang – orang yang memakai lambang Merah Putih. Mereka datang ke suami saya untuk memberi laporan mengenai kejadian-kejadian seperti itu dan mereka harus ditenteramkan. Suasana demikian tak tertahan lagi oleh saya dan saya anjurkan suami saya untuk berlibur beberapa hari diluar kota Makassar. Kami berangkat ke Bone atau Watampone untuk beristirahat sejenak, tetapi juga dalam kota di pedalaman itu terasa suasana tegang.
Pada suatu malam terjadi suatu pembunuhan yang berlangsung boleh dikata dimuka hidung polisi sendiri, dibawah lampu yang besar dimuka satu gedung bioskop, dimana beberapa orang pemerintah dan orang – orang Australia dan NICA sedang asyik menonton film. Yang menjadi korban ialah seorang sopir yang pada pagi hari itu mengantarkan tamu NICA itu ke Bone. Dalam alam pikiran musuh kejadian ini dihubungkan dengan kehadiran kami di kota itu. Pada keesokan harinya suami saya dikembalikan ke Makassar dan juga kami menyusul.
DITANGKAP DAN DIBUANG
Sebagai hadiah natal tahun 1945, suami saya dan enam orang pembantu -pembantunya diangkat oleh polisi untuk kesekian kalinya dijebloskan dalam penjara. Dalam satu sel yang sempit ketujuh bapak – bapak ini yang terdiri atas Dr. Ratulangie, Bapak-Bapak Lanto Daeng Pasewang, Intje Saleh Daeng Tompo, Latumahina, Soewarno, P. L. Tobing, dan W. S. T. Pondaag beberapa bulan harus menginap di hotel Prodeo di Makassar sedang si penjajah harus memutar otak untuk mencari jalan untuk menyingkirkan mereka sejauh mungkin.
Pada suatu hari saya diundang datang ke kantor seorang Auditeur Militair (Jaksa Tentara) Belanda. Kepada saya ia katakan bahwa kami segera dapat dipersatukan dengan suami kami. Kami akan diantar kesuatu tempat dimana kami dapat bergerak bebas, tetapi kemana kami akan dibawa tidak ia sebutkan. Kami diperkenankan membawa kasur dan kelambu dan pembantu dan anak – anak dapat turut pula. Pada suatu saat lain disebutkan bahwa tempat itu terletak 17 jam dengan kapal terbang dari Makassar.
Sekembali dirumah saya mengambil sebuah peta dari lemaribuku dan sebuah mistar dan mengukur dimana mungkin kami akan ditempatkan. Salah satu tempat ialah Irian Barat dan sudah tentu ini tujuan si penjajah dan tempat yang mereka sediakan untuk kita ialah Boven Digoel. Tiada lain yang dapat kami buat selain menyerahkan diri kita kedalam tangan Tuhan Yang Maha Esa dan dengan sabar dan ketenangan hati menunggu nasib kami.
Pada suatu hari kami diberitahu oleh Auditeur Militair agar bersiap – siap untuk diberangkatkan ketempat yang direncanakan itu. Tetapi yang agak menenangkan hati saya adalah bahwa kami akan diperlakukan “naar rang en stand”, sesuai dengan kedudukan dan derajat kami.
Kami menunggu dan hari keberangkatan kami tiba juga. Tiga keluarga dari Sulawesi Selatan, keluarga Ratulangie, L. Daeng Pasewang dan Saleh Daeng Tompo yang oleh si penjajah dianggap paling berbahaya bagi Belanda, harus ditampung dulu dirumah kami dan bersama – sama kami akan diberangkatkan menuju tempat pembuangan kami.
NYANYIAN “INDONESIA RAYA” DARI DALAM PENJARA
Pada suatu hari pagi – pagi buta kami dijemput oleh beberapa mobil dan truk dibawa ke penjara dimana para suami kami akan dipersatukan dengan keluarga masing – masing. Kami menunggu dimuka penjara. Sekonyong-konyong kami mendengar lagu kebangsaan kita Indonesia Raya berkumandang diangkasa oleh ratusan tahanan politik yang berada dalam penjara. Suasana haru ini membuat bulu roma kami berdiri sejenak. Nyanyian kesayangan kita ini datang dari ribuan pemuda yang oleh si penjajah dalam tindakan membabi buta telah dijebloskan ketempat itu. Lagu ini dinyanyikan sebagai ucapan selamat jalan kepada pemimpin – pemimpin yang mereka cintai.
Menurut cerita seorang yang menyaksikan kejadian ini, setelah pintu sel dibuka ribuan pemuda berdiri berderet – deret di muka jendela berterali itu dengan air mata berlinang – linang menyanyikan lagu kebangsaan kita. Setelah para Bapak dari dalam penjara dinaikkan kedalam truk bersama kami maka bergeraklah iringan ini kearah pantai.
Sesampai ditepi laut kami melihat sebuah pesawat “Catalina” menantikan kedatangan kami. Sebuah motorboat telah siap mengantar kami ke kapal terbang. Dalam kami turun ke motorboot itu bagi saya tidak ada kesempatan memikir nasib kami pada keesokan harinya.
Semalam sebelum kita berangkat, 1 rantang telah saya penuhi dengan makanan dan beberapa botol air minum karena betul juga sangkaan saya tidak disediakan apa-apa untuk orang-orang yang harus dibuang.
Pada waktu hampir malam saya merasa pesawat menurun. Saya menoleh keluar melalui jendela, dari sana saya melihat rumah – rumah diatas air laut. Catalina sudah mendarat diatas air. Perahu-perahu dengan pengemudi wajah-wajah hitam dan berambut hitam keriting mendekati pesawat itu tak lama kami merasa tanah dibawah telapak kaki kami.

Keterangan: Gambar oleh pelukis (…)berdasarkan keterangan penduduk Serui yang masih ada mengenai tibanya para “buangan” NICA di Serui. Menurut penduduk kami dikatakan adalah “OKNUM2 YANG BERBAHAYA”
Kami berjalan di satu kota kecil diantar menuju rumah HPB (Hoofd van Plaatselijk Bestuur) dan sesampainya disitu kami harus tinggal sejenak untuk mendengarkan nasehat-nasehat dari seorang Belanda yang masih muda yang mungkin mengira ia sedang bercakap-cakap dengan kawan-kawan sekuliahnya.

Sumber foto: KITLV
Beberapa hari kami tinggal bersama-sama kemudian tiap-tiap keluarga mendapat rumah, perabot rumah dari kayu yang ukurannya sangat besar……………….
MASA PEMBUANGAN

Akhirnya kami mengetahui bahwa kami berada di kota Serui, terletak di pulau Yapen di teluk Geelvink di Nieuw Guinea (kemudian Irian Jaya). Kemudian kami diceriterakan bahwa sebelum kami tiba di Serui, HPB telah mengeluarkan pernyataan bahwa di kota ini akan datang tujuh oknum berbahaya. Penduduk tidak diperbolehkan bergaul dengan mereka, dan bagi pegawai – pegawai ini adalah satu larangan.
Tiap hari seorang dari Veld Politie dengan bedil dipunggung datang mengontrol kami. Ternyata bahwa antara anggauta Veld Politie ini banyak orang- orang yang berasal dari Sulawesi Utara, dan meskipun tidak mengenal kami pribadi, akan tetapi telah banyak juga dengar tentang kami. Dan kalau hari malam telah tiba maka diam-diam mereka muncul dari belakang dapur kadang-kadang dengan memegang sebuah baki ditutup dengan serbet putih yang menutupi sesuatu barang makanan, kuwe-kuwe atau buah-buahan. Pertolongan orang-orang ini sangat kami hargai.
Di kota ini dua kali seminggu diadakan pasar. Seorang mandor berbelanja untuk kami. Untuk tiga hari bagi sekeluarga yang terdiri atas lima orang kami menerima sepotong ikan kecil dan sebuntel besar daun kates ( daun papaya) yang sangat pahit. Ini adalah makanan kami untuk tiga hari. Semua ini sangat menjengkelkan saya dan pada suatu hari saya memohon suami saya untuk menghadap HPB.
Mula – mula ia menolak permintaan saya karena takut nanti si HPB., akan berlaku tidak sopan terhadap saya, namun akhirnya ia luluskan juga permintaan saya tetapi dengan didampingi oleh dua orang Bapak-bapak yang berbadan besar dan kekar. Pesan suami saya berbunyi : Bila HPB berani berlaku tidak sopan terhadap istri saya kamu harus bertindak.
Saya memulai percakapan saya dengan berkata: “Tuan mungkin tidak mengenal kami. Dapat dikatakan umur Tuan seumur anak kami. Auditeur Militair di Makassar telah menjanjikan kepada saya bahwa kami akan mendapat perlakuan “naar rang en stand”. “Apakah tuan mengira kami kambing yang mau makan daun kates sebanyak itu ?”. Ia berpikir sejenak lalu berkata bahwa untuk tiap – tiap anggauta keluarga ia akan mengeluarkan sebulan f. 50,-. Disamping itu kami akan menerima pembagian ransum seperti seorang pegawai.

Sumber foto: KITLV
Ternyata kemudian bahwa uang yang kami terima sebulan melebihi pengeluaran kami. Setiap tanggal 16 kami berkumpul untuk memperingati hari kami tiba di kota Serui ini. Penduduk yang haus akan kabar – kabar dari luar datang bertemu dengan Bapak-Bapak kami. Oleh Bapak-Bapak ini diberikan keterangan kepada mereka dan penerangan mengenai banyak hal. Ternyata orang-orang ini haus akan pendidikan dan pengetahuan ?

Keterangan: Ada Oom Silas Papare digambar juga

Keterangan: Untuk memberikan contoh kepada penduduk dan menghilangkan rasa rindu ke Makassar yang sedang bergolak
Kami berada di kota ini selama dua tahun dua bulan. Pada bulan Maret 1943, kami terima sebuah kawat mengenai kepulangan kami kedunia bebas dan merdeka. Bapak-Bapak akan diberangkatkan dengan pesawat terbang ke Surabaya, lalu melalui garis demarkasi akan langsung ke Yogyakarta. Sedangkan kami keluarga- keluarga mereka akan menyusul dengan kapal laut. Dalam perjalanan dengan kapal laut ini kami mendapat pelayanan yang sangat baik dari pimpinan sampai ke pelayan -pelayan yang sangat ramah, mermbuat perjalanan itu sangat menyenangkan.
MENUJU KEBEBASAN
Dari kapal ini waktu kami berada di lautan antara Ambon dan Makassar saya kirim permohonan kepada Leutenant Generaal Dr. van Mook, juga atas nama para istri Bapak-Bapak yang lain untuk mengizinkan kami singgah untuk beberapa waktu di kota Makassar untuk mengurus barang-barang kami yang waktu kami diberangkatkan ke pembuangan dengan tergesa-gesa kami tinggalkan begitu saja di Makassar ini.
Sesampai di kota Makassar dan kapal telah berlabuh, namun kami tidak diperbolehkan turun dari kapal oleh pemerintah NIT (Negara Indonesia Timur) dimana pada waktu itu yang menjadi presiden adalah Tjokorde Sukowati. Kami diharuskan menunggu keberangkatan ke Jakarta diatas kapal itu. Hal ini sudah tentu bertentangan dengan peraturan – peraturan dari kapal itu. Jikalau ini tak mungkin maka kami diharuskan tunggu saja disalah satu gudang hal mana sudah tentu kami protes.
Datanglah kawan-kawan lama kami : Bapak dan Ibu Saelan. Dari atas kapal saya memberitahukan kepada mereka bahwa kami tidak diperbolehkan turun ke darat. Bapak Saelan langsung menuju ke kantor Gubernur dimana ia mengeluarkan protes keras terhadap tindakan ini.
Ia menuntut agar kami diberi izin untuk turun atas tanggung jawab beliau sendiri. Ia kembali kekapal memberitahukan hal ini kepada kami, dan kami harus menandatangani suatu pernyataan yang antara lain berbunyi : Kami tidak diperbolehkan menyelenggarakan atau mengikuti rapat. Kami tidak boleh menyelenggarakan demonstrasi atau sejenisnya.
Hal-hal ini sudah tentu dengan senang hati kami tanda tangani. Saya dan anak bungsu saya menginap di rumah keluarga Saelan, keluarga yang telah lama kami kenal dan dari situ saya mengurus alat-alat rumah tangga kami yang saya tinggalkan begitu saja kepada beberapa keluarga. Saya mengumpulkan dan mengangkut barang-barang kami, dengan kendaraan truk, beca, dan sebagainya ke beberapa ruangan dari perkumpulan orang-orang Minahasa untuk menyimpan barang-barang kami. Saya sendiri mengangkat barang – barang ini dan membawa ke gedung Societeit dimana akan diadakan pelelangan dari barang – barang kami.
Ternyata bahwa tidak ada seorang kecuali keluarga Saelan yang berani mendekati kami. Barang-barang dilelang dengan hasil yang memuaskan. Sekarang kami mempunyai uang NICA yang sudah beredar di Indonesia. Hasil ini kami bawa dan menumpang satu kapal besar dari Java China Japan Lijn untuk meneruskan perjalanan kami ke Jakarta.
KELUARGA KAMI BERSATU KEMBALI
Sesampai di Tanjung Priok

Di Tanjung Priok kami dijemput oleh suami saya dan tiga orang putri kami. Kebetulan suami saya berada di Jakarta karena beliau adalah anggauta delegasi Republik Indonesia, dalam perundingan-perundingan dengan Belanda.
Kami tak diperbolehkan tinggal di Jakarta terlalu lama dan harus meneruskan perjalanan ke Yogyakarta. Waktu kami tiba di Jogya tepat tanggal 17 Agustus 1948. Dari gedung-gedung dan rumah- rumah berkibar sang Merah Putih. Betapa lega hati saya berada dialam bebas yang merdeka ini, dimana dengan suara-suaran nyaring anak – anak dari kompleks dimana kami mondok menyanyikan lagu kebangsaan kita.
Ternyata kami sekeluarga akan dikirim oleh Republik Indonesia ke Pilipina untuk mencari hubungan dengan negara – negara tetangga itu. Kami hanya menunggu kesempatan pesawat terbang. Pada suatu hari kami mendengar suara kapal terbang diatas kepala saya. Saya menoleh keluar keatas dari kamar dan melihat sebuah kapal terbang melayang-layang diangkasa, saya belum lagi mengenal peasawat itu, sekonyong-konyong saya dengar suatu benda keras kira-kira 200 meter darimana saya berada jatuh ke tanah.
Nyatanya Belanda sudah mulai Aksi Kedua yang terkenal itu, semua orang menjadi panik dan tidak tahu apa yang hendak diperbuat, Semuanya kalang kabut, disana sini kami dengar letusan bom. Ada yang ingin menyingkir ketempat-tempat yang mereka perkirakan lebih aman. Suami saya menanyakan saya apa yang hendak kita perbuat.
Didalam hati saya, saya bersembahyang dan menyerahkan segala- galanya dalam tangan Tuhan. Kami tidak menyingkir, hanya diatas meja makan, kami tumpukkan sebanyak mungkin kasur – kasur. Bila kita dengar bunyian seperti air jatuh, atau air terjun, maka kami harus mencari perlindungan dibawah meja. Karena bunyi demikian menandakan adanya bom yang mendekati kami. Pintu dan jendela diseluruh rumah kami sudah tutup semua. Dengan sabar kami menunggu kejadian-kejadian selanjutnya.
Kira-kira jam 11 siang kami mendengar suara sepatu dan aba-aba dalam bahasa Belanda yang ditujukan kepada serdadu-serdadu mereka. Belanda telah menduduki ibu kota kita, dan dengan tenang kita menunggu apa yang akan terjadi atas diri kita. Pada suatu malam, kira-kira jam tujuh, anjing menggonggong dan selanjutnya terdengar suara memaki anjing itu dalam bahasa Belanda, pintu dibuka oleh seorang militer Belanda.
DITANGKAP LAGI
Ia memasuki ruang makan kami dan menanyakan dimana Dr. Ratulangie berada. Itulah saatnya bahwa suami saya, untuk kesekian kalinya, dibawa oleh Belanda. Untungnya kali ini tidak kepenjara, tetapi ke istana presiden dimana telah terkumpul juga kawan-kawan lain.
Setelah beberapa hari sebagian dari mereka dibawa ke Jakarta dan ditempatkan disuatu gedung di Jalan Prapatan. Presiden Soekarno, Bung Hatta dan beberapa anggauta – anggauta lain dari pemerintah Republik Indonesia, dibawa langsung ke Bangka. Bersama suami saya yang ada di tahanan Jalab Prapatan, diantaranya Bapak-bapak Setia Budi (atau Dr. Douwes Dekker), Adam Malik, Gondokusumo, Moh. Nasir. Mereka semua sedang menunggu nasib mereka yang berada di tangan penjajah Belanda.
Dengan mendekatinya tanggal 21 April 1949 maka kaum “Republikein” (para pendukung Republik Indonesia) diantaranya Ibu Erna Djajadiningrat, yang telah menampung ibu-ibu janda-janda yang ia beri pekerjaan untuk mencari nafkah, bermaksud memperingati hari kelahiran Ibu Kartini. Mereka meminta saya untuk memimpin perayaan itu. Saya menanyakan mereka mengapa justru saya. Jawaban ibu-ibu ialah karena pada tahun 1946 di Makassar kami telah memperingati untuk pertama kali sejak perang dunia kedua dan pendudukan Jepang Hari kelahiran Ibu Kartini, Pahlawan Nasional.
Saya menerima permintaan ibu-ibu ini. Pada suatu rapat, dimana kami membuat rencana acara dari perayaan itu disetujui bahwa akan diadakan resepsi di lokasi tempat renang Cikini yang sejak beberapa tahun tidak dipakai lagi yang disusul dengan suatu bazaar. Disamping itu akan diadakan pertunjukan di Gedung Komedi di Pasar Baru dan pelbagai acara lain.
Untuk penyelenggaran tersebut kami memerlukan izin. Beberapa ibu diutus untuk menemui Wali Kota yang pada waktu itu seorang berkebangsaan Belanda. Ternyata kami diperbolehkan memperingati dan merayakan hari lahirnya ibu Karini ini tetapi dengan syarat bahwa :
1. Kami tidak diperbolehkan menyanyikan lagu kebangsaan kita Indonesia Raya
2. Tidak diperbolehkan adanya kombinasi merah dan putih dalam satu karangan bunga, atau dekorasi apapun juga.
Bila larangan ini tidak diindahkan semua acara akan dihentikan dan akan dibubarkan. Sudah tentu kami terpaksa memegang teguh pada syarat-syarat ini. Perayaan peringatan ini berjalan lancar dan meriah. Pertunjukan di gedung komedi dimana diperlihatkan tari-tarian dari seluruh Indonesia mendapat sambutan yang sangat besar sehingga kami diminta untuk mengulangi pertunjukan ini untuk kedua kalinya.
KESEHATAN SUAMI SAYA SEMAKIN MENURUN
Karena kesehatan suami saya dalam tahanan Perapatan mulai terganggu, bahkan beliau mendapat suatu serangan jantung, maka ia diperbolehkan pulang dan dirawat dirumah. Dengan demikian beliau masih sempat menghadiri perayaan hari lahirnya Ibu Kartini.
Bila saya menanyakan kepadanya apakah kami masih akan mendapatkan kemerdekaan kita, maka senantiasa jawabannya berbunyi : “Tentu kita akan merdeka akan tetapi mungkin saya tak akan dapat menikmati hasil perjuangan kita.” Demikianlah yang telah dikatakannya kepada kami dan telah ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa bahwa pada tanggal 30 Juni 1949 ia meninggalkan tidak hanya keluarganya tetapi juga bangsa dan negara yang sangat ia cintai untuk selamanya.

Inspiratif…
Memang, Audy A Kenap ……. sayapun dengan baca ceritera Alm. Ibu saya terkesan dan sangat mengharukan sambil menghormati perempuan yang tabah ini dan ingin tetap menjalankan petunjuk2 yang pernah beliau berikan kepada anak2nya……
Walaupun rasisme pada zaman penjajahan kerap merendahkan kaum pribumi, tetapi saya heran tetap saja tidak sedikit pernikahan antara lelaki pribumi dengan perempuan Eropa atau Indo di zaman itu terjadi. Seperti Sam Ratulangi.
Apakah kewarganegaraan seorang wanita yang menyandang status hukum Eropah jika menikah dengan lelaki pribumi akan berganti ikut kewarganegaraan lokal suaminya bu?