KISAH REMADJA
( Catatan Editor: KISAH REMAJA disalin dari buku berjudul : “Pahlawan Kemerdekaan Nasional Mahaputera DR G.S.S.J. Ratu Langie” oleh W.S.T. Pondaag (1966), halaman 189 – 211, masih memakai Ejaan Lama.)

Kisah ini adalah tjeritera dari DR. Ratu Langie sendiri jang dimuat dalam madjalahnja “Nationale Commentaren” sebagai fragmen roman sosial dengan nama samaran Ir. Rindengan.
Di dalam tjeritera ini ia merenungkan masa remadjanja di Minahasa ketika ia sudah berusia lebih dari empat puluh tahun. Jadi Rondor Mamarimbing walaupun dikisahkan sebagai suatu type Kawanua remadja, sebenanja adalah juga pemuda Sam Ratu Langie sendiri jang mengalami penghidupannja sebagai putera remadja di Kasendukan (Minahasa).
Namaku Rondor Mamarimbing, nama keluargaku tidak begitu penting, dan saudara tidak usah mengetahuinja. Setjara bagaimana saja diberi nama itu akan kutjeriterakan.
Ayahku memberikannja padaku, pada saat itu ia seorang nasionalis jang baik. Kawan-kawanku pada waktu itu diberi nama jang bertjorak Djerman, seperti Friedrich, Siegfried, Winfried, Wilhelm dan lain-lain. Pada waktu itu memang sudah menjadi mode di Minahasa untuk memberi nama kepada anak-anak dari legenda-legenda dan saga-saga Djerman, akan tetapi ajahku menamakanku biasa saja jaitu Rondor Mamarimbing. Terhadap kakak-kakakku perempuan ayahku selalu menuruti kehendaknja sendiri. Gadis-gadis biasanja diberi nama jang sudah ditjap Djerman atau meningat kepada Almanach de Gotha, Hildegonda, Godefrieda, Victoria, Maria-Louise dan lain-lain adalah suara-suara jang biasa sekali pada pembaptisan-pembaptisan pada waktu itu. Pendeta jang terhormat itu pasti telah terkedjut sewaktu ajah mempbaptiskan kakakku perempuan jang sulung dan mentjatatkan namanja sebagai Saramatiti Linkambe’ne : Kakakku perempuan jang kedua dibaptiskan Pinkanwulauan Manampira.
Memang-pada waktu itu adalah zaman jang aneh sekali, jang kini tidak dapat dibajangkan lagi; dan sekarang kadang-kadang aku bertanja pada diri sendiri kenapa orang-orang dulu ingin mengelabuhi kepribadian nasional kita dengan nemberikan nama-nama asing pada anak-anaknja nama dari dunia lain. Apabila mata saudara ditutup dengan kain dan seorang akan memperkenalkan dirinja dengan suara stentornja, dengan kata-kata: “Perkenalkan sebentar, namaku Siegfried.” Seribu lawan satu, bahwa saudara akan membajangkan seorang Djerman atau Norwegia jang tinggi dan pirang, bermata biru dan barangkali berdjenggot pirang keemas-emasan. Akan tetapi sensasi apa jang saudara alami, djika penutup mata itu dibuka dan tidak ajal lagi memandang kepada seorang Kawanua jang sympatik, bersenjum laksana gambaran dari bulan pumama jang bersenyum penuh kesetiaan, jang barangkali djauh dibawah ukuran itu. Jang nampak bukan rambut pirang jang menghiasi dahi jang tinggi itu, akan tetapi sungguh-sungguh tjorak rambut jang kedjur lurus dari seorang Alfur.” Dan selagi mengharapkan mata biru jang “ins fernen hinein blicken,’ maka terlihatlah oleh saudara pandangan jang lemah lembut dari matanja jang hitam, sedikit terkerut seperti seorang Mongol.
Dan achirnja, bukanlah seorang dari keturunan Djerman jang tinggi dan ramping jang menghadapi saudara itu, akan tetapi seorang jang bertubuh kokoh-kuat dan kekar, :anaknja Toar.
Dan rangkaian-rangkaian kedjadian jang mengejutkan ini, bersumber pada pemberian nama jang salah kepada orang itu, jang “sebentar ingin memperkenalkan dirinja” sewaktu mata saudara sedang tertutup.
Oleh karena itu akan mengutamakan sekali nama-nama Minahasa kepada orang-orang Minahasa. “What is in a name”, akan saudara katakan. Dan djawabku ialah : lihat sadja bagaimana akibatnja jang tidak terduga karena nama Siegfried. Lagipula nomen est omen !
Maka dari itu, aku bersuka hati karena wajahku telah membaptiskanku Rondor Mamarimbing, nama jang bagaimanapun djuga tidak akan menimbulkan kesalahan pada perkenalan dengan mata tertutup sekali pun.
Bagaimana rupaku jang sebenamja bukan urusan saudara. Aku ingin menggambarkannja tetapi setjara sangat rahasia, bahwa akupun setjara fisik adalah seorang Minahasa. kukuh-kuat dibawah ukuran berambut kedjur-lurus dan “Schlitzaugen” seperti seorang Mongol. Apakah type ini serasi dengan saudara terserahlah, itu adalah urusan saudara dan bukan urusanku.
Aku hampir tua, tetapi saudara pasti bertjanja, bahwa kurang lebih 40 tahun jang lalu aku lebih muda dari sekarang. Pada waktu itu aku belum tjukup tua. Memori atau memoires ditulis orang, apabila tidak lagi menghiraukan lagi penghidupan, dan untunglah aku belum sampai disana walaupun rambutku jang lurus sudah beruban disana-sini.
Ada tambahan pula, memori ditulis orang-orang jang paling sedikit telah mentjetuskan perang dunia atau hampir mentjetuskannja. Itulah keistimewaan mereka!
Napoleon boleh menulis memori, imperator Kamel Ataturk, Franco dsb.nja. Dan mengenai wanita-wanitanja, hm…………hm…………umpamanja Josephine de Beauhamais, Madame Matahari dan lain-lain karena kemasyhurannja, akan tetapi lebih-lebih karena wewangian jang dihembuskan dari kamar-kamar tamunja jang sangat menarik itu; wanita-wanita itulah telah mengambil haknja untuk menulis memori.
Kita sebagai rakjat djelata jang tidak akan mentjetuskan atau hampir mentjetuskan perang dunia dan jang tidak akan menghembuskan keharuman dari wewangian itu, kita ini sama sekali tidak akan terpilih untuk menulis memori. Apa jang dapat kita tulis ialah hanja kenang-kenangan sadja. Kenang-kenangan biasa belaka, jang pada malam jang sunyi timbul lagi pada pikiran kita dari sendja-sendja penghidupan kita. Djadi apa jang akan ditjeriterakan olehku, Rondor Mamarimbing ada1ah kenang-kenangan belaka.
Kenang-kenanganku itu timbul padaku, djika dalam peladjaran-peladjaran jang banjak aku sedang duduk diatas geladak sebuah kapal uap jang modern serta njaman. Dan kapal-kapal itu berlajar melalui pulau-pulau jang sunji-senjap dibawah langit jang bertaburan bintang-bintang menjinarkan sinarnja jang gaib kearah laut jang sangat luas itu, dimana disana-sini berjajar perahu-perahu Bugis, tidak terburu-buru, bagaikan kapal-kapal dari saga-saga jang hampir dilupakan, tenang, diajun-ajunkan ombak, maka pada saat itulah kenanganku muntjul bagaikan bajangan-bajangan diatas lajar putih. Kadang-kadang riang gembira, kadang-kadang seperti burung jang lelah, jang dengan hempasan sajap jang berat itu mentjari djalan, menembus awan-awan jang gelap dan berdjatuhan. Akan tetapi kenang-kenangan itu selalu mempesonakan.
Semua ini berlaku bagi orang-orang jang telah mentjapai puntjak hidupnja dan kini sedang menudju hidup jang lain. Sebaliknja orang-orang jang masih muda, umpamanja jang berumur dibawah 30 tahun, maka pada saat seperti itu mereka membiarkan daja tjiptanja bekerdja dan melihat hari depan sebagaimana dikehendakinja. Mereka itu menunggangi kuda tjiptaannja dan paling sedikit kuda itu harus kuda Arab, mereka itu berlari-lari tidak terkendalikan menembus hari kemudian. (Always ahead of the herd).
Itulah memang perbedaan masa muda dan masa tua atau hampir tua, kedua-duanja membiarkan daya berhayal dan kenang-kenangannja bekerja pada waktu jang sunyi. Jang pertama memandang kearah masa depan, dan jang kedua menoleh kepada masa jang lampau. Akan tetapi kedua-duanja menemui dorongan dan inspirasi-inspirasi untuk tahun-tahun jang akan datang daripada bajangan itu.
Disinilah letak daya kekuatan jang hidup dari hayalan itu, jang memberi inspirasi kepada tjita-tjita jang kadang-kadang nampaknja seolah-olah melampaui batas dari keadaan sekarang. Janganlah mengira bahwa raja-raja jang sekarang menguasai dunia perekonomian jang tidak abadi ini, bukanlah orang-orang jang tidak mempunjai daya tjipta. Ford, Carnegie, Kreuger, bahkan Basil Zackarof adalah orang-orang terbesar dalam hal berangan-angan di antara manusia, mereka itu dapat mewujudkan angan-angannja. Kebanjakan dari kita tidak berhasil dalam hal jang terakhir ini.
Aku ingin mentjeriterakan kenang-kenanganku akan tetapi alangkah baiknja apabila aku mempersilahkan biografiku; ia akan melaksanakan dan menulisnja lebih menarik dari padaku. Lagi pula segala seusatu jang diperlukan telah kutjeriterakan kepadanja.
Rondor Mamarimbing, kini menjadi seorang pria jang berusia setengah abad. Akan tetapi saudara pertjaya bukan, bahwa 40 tahun jang lalu ia lebih muda. Kami ingin menulis tentang hal ihwal penghidupannja, dimana kita disana-sini akan menambahkan beberapa hayalan demi semaraknja tjeritera; itu memang terjadi dalam tiap biografi. Lagipula – ada baiknja bahwa saudara terlebih dahulu mengetahuinja – Rondor Mamarimbing tidak pernah ada. Kami tidak hendak menggambarkan seseorang, akan tetapi suatu type dari zaman tertentu di Minahasa. Ia adalah suatu type dari orang-orang jang telah dilahirkan sesaat sebelum pertukaran abad jang ditjengkeram dengan keinginannja untuk “turut aliran Barat”; terpesona oleh aureool jang pada waktu itu mengelilingi Barat itu.
Djadi Rondor Mamarimbing itu tidak pernah ada, akan tetapi banjaklah Rondor-Rondor. Dan pengalaman-pengalaman dari Rondor-Rondor dan Mamarimbing-Mamarimbing itulah telah digabungkan di dalam seorang chajalan, jaitu Rondor Mamarimbing. Untuk memudahkan pekerdjaan ini aku menamakannja sadja biografi. Atau apakah saudara mempunyai nama lain untuk ini jang lebih tepat?
Rondor Mamarimbing telah dilahirkan tahun jang lalu ; tempat kelahirannja terletak digunung-gunung di Minahasa, ditepi salah satu danau-danau gunung jang banjak terdapat disitu. Kami akan menamakan tempat itu Kasendukan. Orang tuanja termasuk orang jang berada di Kesendukan. Ajahnja seorang major dari distrik Kasendukan. Ia dibesarkan disuatu rumah, seperti banjak terdapat di Minahasa, jaitu rumah keluarga dari kaju amat besar, seringkali diperluas.
Tiap generasi memperluasnja sehingga keseluruhannja mendjadi suatu teka-teki jang terdiri dari ruangan-ruangan dan gang-gang. Tidak dapat diperkirakan berapa djiwa jang menempati rumah itu. Banjak pembantu-pembantu setia jang tinggal djuga di “godong” dan di rumah-rumah tambahan dihalaman. Mereka itu sebenarnja bukan benar-benar pembantu, akan tetapi kerap kali keluarga djauh. hubungan keluarga mereka dengan ajah Rondor adalah sebagai hubungan seorang anggauta keluarga dengan pater familias. Dalam hubungan ini tidak terdapat pembajaran upah. Pembantu-pembantu sematjam itu berbitjara dengan leluasa dan biarlah kami djelaskan disini – dengan hak jang sama seperti dirasakannja setjara bathin mengenai “ternak kita” dan “tanah kita” sebagaimana dikatakan oleh major dari Kesendukan. Seperti telah dikatakan, hubungan madjikan dan buruh tidak ada antara ajah Rondor dan pembantu-pembantu jang sebanjak itu, jang ada dihalamanja.
Diantara mereka itu terdapatlah Denan, jang memainkan peran sebagai major domus. Ia mempunyai ukuran-ukuran badan jang luar biasa dan kekuatan jang tidak ada tandingannja; mungkin djuga Denan, sewaktu tjeritera kami ini dimulai, menduduki tempat major domus setjara berangsung-angsur disebabkan kedua sifat jang mengagumkan itu. Ia dapat memegang banteng-banteng jang muda pada tanduknja, jang harus ditjap dengan membakarnja initial dari narna keluarga dan dengan tjara berdiri pada tempatnja dengan kuatnja, maka dengan satu gerakan dari lengan-lengannja jang kuat itu, ia dapat mendjatuhkan banteng-banteng itu tanpa memakai pegangan-pegangan jang tertentu, seperti pegangan Nelson jang sebagian atau seluluhnja. Lagipuia sudah tentu Denan tidak banjak rnengetahui tentang tjara gulat Grika-Romawi; padanja hanja perpaduan dari naluri “the fighting man” dengan kekuatan jang luar biasa. Dapat dibanggakan disini bahwa kekuatan jang hebat itu hampir tak pernah digunakan dalam hubungannja dengan sesama manusia. Ia dapat disebut seorang jang baik dan mau mengikuti orang; akan tetapi intelegensinja sedemikian rupa tjukupnja, sehingga apabila diperlukan, tidak mau dipermainkan orang.
Untuk Rumondor jang berumur 5 tahun itu, Denan adalah orang jang sempurna, seorang pahlawan. Ia senang sekali ada di dekat Denan dan untuk ber-djam-djam lamanja ia memandangnja dengan penuh kekaguman, bagaimana Denan mengangkat karung-karung padi dan melemparkannja ke dalam gerobak jang sudah menunggu dan siap untuk mengangkut kegilingan padi.
Pada suatu hari Rondor dengan diam-diam naik kedalam gerobak jang mau berangkat, dengan harapan untuk mendjadi penumpang gelap kegilingan padi dibawah perlindungan kegelapan. Akan tetapi nasib penumpang gelap ini rupa-rupanja sedang sial. Sewaktu gerobak yang ditumpangi Rondor jang sedang duduk diatas karung padi itu mulai bergerak, roda kanannja tergelintjir ke dalam sebuah got, dan oleh karena gerakan jang tidak terduga itu, maka Rondor terlempar dari gerobak bagaikan batu jang terlempar dengan sebuah ketapul. Ia menggambarkan suatu djalan lontaran, jang sebagaimana kelak dipeladjarinja dalam ilmu pesawat dan parabol-parabol, sehingga apa jang terpikir olehnja setjepat kilat, ialah dimanakah ia akan djatuh. Dan ia djatuh ditempat jang sama sekali tidak terduga semula, jaitu dalam tangkapan besi dari tangan Denan jang berotot kuat. Ia telah mengetahui maksud Rondor dan kemudian memperhatikan gerak-gerik gerobak dengan penumpang gelapnja, waspada akan tiap kedjadian. Ia menangkap penerbang jang sedang melajang dalam penerbangannja diangkasa, dan berkat sentuhan kekuatannja dengan mudahnja Denan telah menghindarkannja dari sentuhan dengan bumi jang pasti tidak akan menjenangkan dan tadinja sudah tidak dapat dihindarkan lagi.
Urusan Denan banjak sekali, apabila seekor anak sapi mati disebabkan patah lehernja karena djatuh ke dalam jurang sewaktu sedang mentjari makan, maka hal itu akan segera dilaporkan oleh anak buahnja kepada Denan, jang selandjutnja diteruskan kepada major, djika ia sedang minum teh diberanda belakang mendjelang sendja. Dengan djuga jang harus mempersiapkan segala sesuatunja, apabila salah seorang pemuda dari “halaman” itu hendak melangsungkan pernikahannja. Kelak major akan diberi laporan-laporan tentang itu; Denan djuga mengadakan perundingan-perundingan dengan tengkulak-tengkulak kopra Tionghoa, kalau kopra telah tiba dari tempatnja untuk didjual. Singkatnja, seluruh urusan rumah tangga dari keluarga jang besar itu dikendalikan oleh Denan.
Ada seorang lain lagi dengan siapa Rondor harus bergaul. Ia seorang pria jang berusia lebih dari 60 tahun, orangnja kurus ketjil, tapi masih sangat aktip. Sebenarnja ia tidak mempunyai pekerdjaan khusus, tetapi apa sadja jang dikerdjakannja tanpa disuruh oleh seorangpun. Pemuda-pemuda di ‘halaman’ memanggilnja tété, jaitu Kakek, jang lainnja tanpa pengetjualian “ito” jaitu paman, majorpun menggunakan nama panggilan ini, walaupun tidak nampak suatu hubungan keluarga.
Dalam masa mudanja ia pasti telah bepergian djauh, karena banjak jang ditjeriterakannja mengenai daerah Gorontalo dan Bugis dibagian Selatan jang tidaklah sedikit artinja pada waktu ia harus bepergian, sebab pada waktu itu tidak ada hubungan dengan kapal uap. Orang tua ini, tété Tialo, telah membebankan dirinja untuk mengurus anak-anak kalau major dan istrinja bepergian, kadang-kadang- berhari-hari apakah ke Menado untuk kundjungan jang resmi, ataukah nrenghadiri pesta pada keluarga-keluarga jang berdekatan, jang berlangsung beberapa hari sesuai dengan kebiasaan pada waktu itu.
Inilah saatnja bagi tété Tialo, jang dikerumuni oleh anak-anak untuk mengisahkan legenda-legenda dan sorga-saga kuno dari Minahasa dalam lagu dan sjair jang tidak hentinya. Tjeritera-tjeritera kuno inilah jang menarik perhatian Rondor, karena tété Tialo dan ini rupa-rupanja belum diketahui Rondor pada waktu itu – adalah seorang penjair jang ulung. Ia dapat menggambarkan Aäsaran jang tua sedemikian rupa dramatisnja, sehingga anak-anak itu duduk terpaku. Pilihan kata-katanja dalan-njanjian-njanjian jang sebentar digubahnja itu begitu rupa menakdjubkan dan iramanja begitu sempurna sehingga hal itu masih beralun dalam kenang-kenangan Rondor.
Kemudian, lama sekali setelah itu, sewaktu Rondor membatja tentang troubadour dan minstreel ia seringkali menjamakan tété Tialo dengan penjanji-penjanji dan penjair-penjair dari Abad pertengahan di Eropah itu.
Tialo adalah seorang pcnjanji dan penjair atas Karunia Allah, dan inilah sebabnja dari kemenangan jang gilang-gemilang untuk mempersonakan anak-anak di malam-malam jang pandjang, selama ia menghendakinja. Dan kadang-kadang Tialo sendiri harus memutuskan pertemuan-pertemuan seperti ini secara tiba-tiba, seolah-olah ada orang jang memanggilnja, dan tjepat-tjepatlah ia pergi untuk mengelakkan protes-protes Rondor.
Ada suatu kedudukan jang chas jang diisi oleh Tialo dalam keluarga major jang besar itu. Ia seorang jang dapat mengadakan hubungan dengan nenek-mojang dengan perantaraan burung-burung atau disebut “Tonaas” dan dukun dari keluarga itu. Kalau ada seorang jang sudah lama sakit dan apabila pengetahuan dokter–djawa jang sudah tua itu tidak membawa kesembuhan, maka Tialolah jang pergi kedesa untuk mentjari ajam-djago putih. Ajam itu dimasak menurut suatu tjara jang hanja diketahui oleh Tialo sadja, dan pada suatu malam jang sunji pergilah Tialo kesuatu mata air di hutan untuk memanggil burung-burung jang beterbangan pada malam hari dan nenek mojang. Kadang-kadang Rondor diperbolehkan untuk menemaninja dalam perdjalanan serupa itu dan dalam tahun-tahun selandjutnja ia seringkali merasa keheran-heranan, bahwa soring (seruling) Tialo memang didjawab oleh seekor manguni (burung hantu). Dan burung ini datang terbang dalam lingkaran jang semakin sempit ketempat dimana Tialo berdiri dan akhirnya bertengkar di pepohonan jang dekat. Setelah itu diadakan “tukar pikiran” antara tonaas tua dan burung manguni itu selalu didjawab oleh burung. Tidak lama kemudian Tialo mengumpulkan alat-alat dukun jang telah dibawa itu, seperti ajam djago putih, nasi dan tjangkir terbuat dari bambu. Setelah tiupan seruling tété Tialo jang kuat dan didjawab oleh manguni dengan kuat pula, maka berachirlah petemuan spirituil dan burung itu menghilang ke hutan dengna hempasan sajap jang tenang.
Setibanja di rumah, Rondor mendengar tété Tialo berkata kepada major : “semuanja sudah beres. Ia telah datang dan lain-lainnja djuga.” Major mendjawab : “Begitulah hendaknja.”
Tidak pernah djelas bagi Rondor apa jang dimaksudkan dengan “ia dan lain-lainnja”, tetapi ia suka sekali dengan hidangan panggang ajam djago putih dan nasi putih jang telah diberkati itu.
Dan jang paling penting, kakak perempuannja jang sakit itu sembuh kembali berkat tjara penjembuhan Tonaas itu. Rondor tidak pernah memikirkan setjara mendalam, apakah obat dari dokter-djawa itulah jang menjembuhkan kakaknja, ataukah ajam djago putih Tialo. Tetapi dokter-djawa itu memang seorang jang pandai dan dapat menjesuaikan diri : kadang-kadang ia turut djuga menikmati hidangan ajam djago putih dari Tialo.
Pada waktu-waktu jang tertentu seluruh keluarga pergi ke “pantai”. “Pantai” itu adalah kebun kelapa dan pala dari keluarga itu. Letaknja 60 km. dari Kasendukan dan djalannja bukanlah djalan raya jang diaspal. Banjak hal jang harus dipersiapkan lebih dahulu. Mereka menempuh perdjalanan itu dalam “sleeping-cars” ditarik oleh sapi-sapi, dikawali oleh beberapa roda-roda (gerobak) jang mengangkutkan bagasi dan persediaan makanan. Mereka berangkat waktu sendja agar dapat tiba di tempat tudjuan waktu fadjar. Pada kedjadian seperti itu, Denanlah jang memimpin iringan-iringan itu. Setjara sederhana sekali dibuatlah lampu-lampu minjak tanah dari botol-botol jang kosong dan potongan-potongan kain, jang kemudian dimasukkan kedalam bumbung bambu dan diberi daun-daun woka sebagai penghalang angin. Maka selesailah lampu-lampu untuk dipakai dalam perdjalanan itu. Ia mengetahuai apa jang diperlukan dalam perdjalanan seperti itu dan selalu dapat mengatasinja. Ia mengatur iringan-iringan itu, dimana berhenti untuk makan malam dan untuk mengistirahatkan sapi-sapi sebelum menempuh djalan yang mendaki. Tempat istirahat itu biasanja terletak didekat sungai jang ketjil dan djernih.
Denan djuga mernberi isjarat untuk memasang sapi-sapi itu pada roda-roda siap untuk rneneruskan perdjalanan. Dialah jang mempersilahkan musafir-musafir jang kebetulan lewat disana untuk turut serta makan malam jang biasanja ditolak oleh mereka.
Dan Denan pulalah jang selalu mengobrol dengan orang-orang jang lewat disana, hal mana sangat mentjurigakan Rondor, djangan-djangan ada hal jang perlu diketahui selain informasi-informasi mengenai tjuatja djalan sadja. Pada saat seperti itu, berdirilah Denan dengan tangan bersilang didada, tangan kanannja tertutup, mentjurigakan dekat pegangan tangkai goloknja. “Golok” ini sebenarnja sebuah pedang untuk memenggal kepala orang, jang disamping itu dapat djuga dipakai sebagai golok biasa. Setelah informasi sematjam itu, Denan dengan diam-diam menemui major dan mengatakan umpamanja “Mereka itu adalah orang-orang dari desa ini atau itu” jang rupa-rupanja diartikan seperti ini : “Mereka itu orang baik-baik.” Apabila major belum tertidur didalam sleeping-car ia biasanja mendjawab “begitulah hendaknja.” Rondor selalu tidak jakin apakah informasi-informasi Denan itu memang diperlukan. Ia tidak pernah mendengar terdjadinya perampokan. Akan tetapi bagi Denan hal itu rnerupakan dorongan naluri pribumi di Minahasa jang menganggap setiap asing ada kemungkinan sebagai musuh. Tetapi Denan seorang jang berani, terbukti dari tjara jang tenang kalau menghadapi sekelompok orang-orang jang tidak dikenalnja. Rondor jakin, bahwa Denan dapat menerima segala akibatnja, apabila infonnasi-informasi rnengenai tjuatja dan djalan itu dan orang-orang dari dusun ini atau itu, ternjata tidak benar.
Untuk sekali keberanian Denan tidak perlu diudji dan “golok”nja tidak pernah meninggalkan sarungnja, selain untuk menebang ranting-ranting dan tangkai-tangkai jang menghalangi mereka dalam perdjalanannja.
Kalau iring-iringan sudah bergerak lagi, maka penghalau-penghalau sapi itu berjanji untuk mempersingkat waktunja. Kadang-kadang bergemalah suara mereka meniru teriakan kemenangan dari pemenggal-pemenggal kepala orang, jang selalu didjawab oleh mereka entah dari mana. Hutan-hutan, kebun-kebun dan dusun-dusun jang masih sunji senjap telah dilaluinja. Dan pada saat Bintang Timur sudah nampak maka terdengarlah deburan ombak. Tudjuan dari perdjalanan sudah dekat.
Rondor dibesarkan dalam suasana penghidupan di Kasendukan. Di Kasendukan ada sekolah dasar, jang disebut Europese Lagere School dan sudah tentu ia harus bersekolah disana. Kepala sekolah adalah seorang jang berwatak tinggi tapi kuno, jang menggembleng tata bahasa sedemikian rupa, sehingga diketahuinja kemudian oleh Rondor sewaktu ia sudah ada di negeri Belanda, bahwa ia lebih memahami bahasa Belanda daripada kebanjakan bangsa Belanda sendiri. Ia senang kepada guru-gurunja tetapi ia tidak suka kepada sekolahnja. Ia lebih senang lagi kalau dapat membantu anak-anak jang ada di “halaman” dikebun-kebun atau menggembala kuda-kuda dan ternak-ternak ketegalan-tegalan rumput jang lain.
Sewaktu ia sudah berumur 13 tahun, ia sendiri memilih kuda jang berumur 3 tahun dan dididiklah kuda itu sendiri. Ia membatja buku tentang Indian-indian dan cowboys itu tapi ia tidak “tertarik”.
Kepandaian cowboys itu dapat ditirunja dengan mudah. Ia tidak dapat mengerti mengapa Carl May dan Gustave Airmand menggembar-gemborkan bahwa orang-orang Indian menaiki kudanja tanpa pelana dan berlarian setjepat kilat di padang rumput. Baginja tidak ada kesulitan, lagipula pelana itu hanja rintangan sadja. Barang itu menambah kemungkinan-kemungkinan jang tidak diinginkan sadja. Kalau tali pengikatnja terlepas sewaktu berlari, nah pasti kau akan djatuh!
Sekali pernah terdjadi, bahwa ia mengendarai Sandlewood ajahnja kedesa jang berdekatan untuk menyampaikan satu pesanan. Di dalam perdjalanan ia bertemu dengan kawan dari sekolah yang djuga menaiki kuda, jang memutuskan untuk menemaninja. Sudah tentu mereka itu mentjoba ketjepatan kudanja, sewaktu sampai di djalan lurus. Sewaktu berlari ia mendengar terputusnja tali pengikat itu dan perlahan-lahan ia merasa bahwa duduknja mendjadi miring. Ia masih ingat sewaktu ia sudah berputus asa untuk mentjoba menghentikan kudanja jang achirnja sia-sia belaka. Kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi jang telah terdjadi dan sadar kembali sewaktu ia sudah berada di tempat tidurnja.
Kakak perempuannja mengatakan padanja, bahwa beberapa djam jang lalu Sandelwood telah berlari kehalaman tanpa penumpang, sehingga major menarik kesimpulan, bahwa Rondor telah tergeletak di pinggir djalan. Oleh karena itu, Denan telah diperintahkan untuk mendjemputnja dengan cabriolet. Untunglah kedjadian itu tidak mengakibatkan hal-hal jang tidak diinginkan, hanja mengompres lutut dan selama tudjuh hari harus berbaring. Setelah itu Rondor lebih senang naik kuda tanpa pelana, jang sangat mentjemaskan ibunja karena menganggap bawah tjelana menjadi rusak.
Penghidupan jang bebas ini, diantara kuda-kuda, banteng-banteng muda dan anak-anak lari dari “halaman” berachir sewaktu ia mentjapai usia 14 tahun dan disekolahkan di Tondano pada Hoofdenschool. Ia tinggal dengan bibinja. Jang paling sial baginja ialah, bahwa ia harus berkelakuan seperti Tuan. Kalau ia bepergian maka ia harus bersepatu dan berpakaian putih jang dikandji keras-keras; dirumah ia harus berselop dan tiap-tiap sore ia harus tidur, sungguhpun ia tidak mengantuk.
Hoofdenschool zaman Rondor itu ialah untuk seluruh Sulawesi Utara, seperti Eton untuk kaum ningrat di Inggris. Setiap orang di Sulawesi Utara jang merasa dirinja termasuk putera-putera “orang berbangsa” mentjoba menjekolahkan putera-puteranja disana.
Ini tidak selalu berhasil, sebab banjaknja murid sudah ditentukan sampai maximum 40 orang. Disekolah itu Rondor bertemu dengan putera-putera dan tjutju-tjutju dari kepala-kepala di Minahasa dan radja-radja dari bagian Sulawesi Utara lainnja. Di kemudian hari setelah ia kembali lagi di Sulawesi Utara dari pengembaraannja di dunia, ia bertemu dengan kawan-kawannja lagi jang memangku djabatan pamong.
Ia senang bersekolah disitu. Tetapi ia segera mengetahui, bahwa tidak banjak jang akan dipeladjarinja. Mata peladjarannja tidak begitu merangsang keinginannja untuk mengetahui lebih banjak sebab sudah banjak jang diketahuinja dari sekolah jang lalu dan dari buku-buku ajahnja, jang telah dibatjanja disana-sini.
Pulau Djawa mendjadi daja penariknja. Salah seorang saudara sepupu jang lebih tua daripadanja ada di Indische Artsenschool ; pada waktu itu masih disebut sekolah dokter djawa. Rondor terus berkorespondensi dengan saudaranja itu. Berulang kali Rondor membatja gambaran saudaranja jang dibesar-besarkan, mengenai penghidupan disekolah dokter djawa itu. Iapun mengedarkan tulisan itu dikalangan kawan-kawan akrabnja. Chajalannja menambahkan hal-hal jang sama sekali tidak pernah ditulis dalam surat-surat itu. Akibatnja ialah rindu hendak pergi ke djawa.
Tibalah hari jang sangat penting itu. Kepala sekolah dari Hoofdenschool mengumumkan, bahwa dari Djawa ada permintaan untuk mengirim 3 orang untuk dididik disekolah dokter djawa. Mereka itu harus pemuda-pemuda jang berbakat. Rondor berpendapat bahwa ia mempunyai bakat untuk beladjar terus dan ia mendaftarkan diri. Kepala sekolah dan guru-gurunja mengadakan seleksi diantara peminat dan Rondor termasuk pula diantara murid-murid jang akan dikirim ke Djawa. Ia diberi surat oleh kepala sekolah agar ajahnja mempersiapkan keberangkatannja itu. Sewaktu urusan ini sudah mentjapai taraf serupa itu, maka teringatlah oleh Rondor, bahwa ia sama-sekali belum menberitahukan maksudnja kepada ajahnja. Masih mendjadi teka-teki, apakah ia akan menjetudjuinja. Apabila tidak diperkenankan, pastilah akan timbul kesulitan-kesulitan baru bagi Rondor.
Hari hampir mendjadi malam, sewaktu Rondor menaiki kudanja, jang telah dibawa ke Tondano, memasuki halaman jang luas di Kasendukan. Ia langsung membawa kudanja ke kandang untuk memperpandjang waktu, dan dilihatnja bahwa Sandelwood ajahnja jang besar itu tidak ada ditempatnja.
Dengan lega hati Rondor menarik kesimpulan bahwa ajahnja sedang bepergian, mungkin melakukan inspeksi. Ia mendapatkan ibu dan kakak-kakaknja diberanda belakang dan ia segera berterus-terang untuk apa ia pulang. Ibunja terkedjut dan menangis, ia tidak sampai hati untuk berpisah bertahun-tahun.
Pulau Djawa itu djauh menurut perhitungan pada waktu itu, pulau Djawa terletak di udjung dunia. Kakak-kakaknja perempuan bersuka hati bahwa mereka mempunjai seorang adik laki-laki di pulau Djawa, akan tetapi demi perasaan ibunja mereka itu tidak memperlihatkan kegembiraannja. Mereka itu masih memperbintjangkan soal ini, sewaktu major maniki tangga. Ia seorang jang tidak banyak berbitjara. Ia mengulurkan tangannja kepada Rondor, akan tetapi ia tidak bertanja apa-apa, tidak memperlihatkan keheranannja, bahwa Rondor pulang ke Kasendukan dipertengahan minggu. Achirnja Rondor memutuskan untuk memberitahukan maksud kedatangannja, dan menerangkan dalam kata-kata jang singkat dan tegas apa jang hendak dilakukannja dan apa jang sudah dikerdjakan.
Major seorang ahli djiwa jang berpengalaman. Dalam beberapa detik sadja ia mendapat gambaran dari keadaan yang sebenarnja. Apabila Rondor tidak diperkenankan pergi dari Minahasa karena kekuasaan ajahnja, maka mula-mula ia akan mendjadi seorang putera jang tidak merasa puas dan dikemudian hari akan mendjadi seorang pria dimana perasaan tanggung jawab dalam penghidupannja akan dibebankan kepada ajahnja. Berkat batjaan jang tjukup banjak jang telah dikirim dari pulau Djawa, maka major itu mempunjai pandangan jang luas mengenai perubahan dari hubungan-hubungan dalam penghidupan jang sejogjanja akan terjadi. Ia melihat perkembangan rakjat dan setjara logis ia memetjahkan soal-soal ha1 kelahiran Negeri itu sendiri tidak luas. Hal-hal itu ia hubungkan dengan puteranja. Ia sudah biasa untuk menarik kesimpulan dan tjepat pula mengarnbil keputusan.
“Engkau sudah tentu mengerti”, berkata ia kepada Rondor, ”bahwa djika engkau telah pergi, selalu ada tempat bagitnu dirumah kita, akan tetapi dinegeri sendiri tidak ada.” “sekarang pergilah engkau! Akan tetapi djanganlah kembali dengan kopor jang kosong”.
Rondor mengerti ajahnja. Ia mengerti pula bahwa nasibnja ada ditangan sendiri. Dalam waktu jang singkat ia merasa bahwa ia sudah mendjadi dewasa. Darah perdjuangan dari generasi-generasi jang silam mengalir lagi dalam tubuhnja, akan tetapi dalam bentuk jang lain jaitu untuk terus berdjuang dalam keadaan bagaimana djuga dimana djalan untuk mundur kembali telah diputuskan.
“Ja ajah! Apabila saja terus dikaruniai kesehatan, maka apa jang dikenedaki ajah akan terlaksana.”
Rondor mempunjai kepertjajaan jang teguh kepada pembantu pendeta Belanda dari Kasendukan, akan tetapi ia lebih tjondong kepada Tialo sebagai Tonaas itu. Kelebihan Tialo disebabkan karena pribadinja sesuai sekali dengan tjara penghidupar dirimba dan dengan malam-malam jang bertaburan bintang dinegerinja.
Bagi Rondor, pembantu pendeta itu merupakan seorang tuan Belanda jang disegani dengan isterinja jang baik budi serta anak-anaknja jang sangat patuh. Akan tetapi Tialo adalah pendeta jang tertinggi, jang berkat burung-burungnja dapat berhubungan dengan generasi-generasi jang hidup dalam abad-abad jang silam. Ia mendengarkan tentang pengetahuan nenek-mojang dalam bahasa burung dari Mamarimbing.
Tonaas jang besar dari legenda-legenda. Untuk Rondor, kisah-kisah jang dinjanjikan Tialo merupakan bisikan-bisikan dari waktu jang silam jang bagaikam djembatan-djembatan menghubungkan abad-abad jang memisahkan waktu sekarang dengan zaman legenda-legenda dan saga-saga jang kelam. Ia sungguh-sungguh menjelami romantika jang bergelora dari generasi-generasi pedjoang jang telah hilang, jang harus mempertahankan dirinja, ditengah berbagai kesulitan jang membahajakan hidupnja. Ia mengetahuinja lagu-lagu perang dari zaman itu, jang dinjanjikan oleh pria dengan suaranja jang bergema di seluruh desa sewaktu mereka berkumpul dalam upatjara “Kabasaran”. Ia mengetahui pula njanjian-njanjian jang memudja dewa-dewa dimana mereka itu mengeluarkan perasaannja karena tidak berdaja terhadap kekuasaan dewa-dewa dan-taufan dengan dahsjat menampar danau-danau dan lautan jang tenang di Minahasa, atau menghalau awan-awan gelap diantara gunung-gunung.
Keberanian untuk berdjoang dan berkelahi jang primitif dari “The fighting man” dizaman jang silam, sekarang mengalami perubahan pada Rondor dengan nada jang halus.
Ia tidak kenal takut, badaniah maupun rochaniah ia menafsirkan soal-soal penghidupan sesuai dengan pandangannja dan hanja setjara bathin merasa bawahannja dari dewa-dewa negerinja.Tentu sadja Rondor tidak menginsjafi hal itu, sewaktu kisah ini terdjadi. Ia baru insjaf dikemudian hari dan dapat meneropong penghidupannja, setelah ia mempunjai pandangan hidup jang matang, ditambah pula dengan pengetahuan jang mendalam dari bagian dunia lain.
Pada waktu itupun ia tidak sadar, bahwa semua pengetahuan jang telah dipeiadjarinja disekolah atau jang telah dipeladjarinja dari buku-buku, hanja mendjadi djalan sadja untuk menggunakan akal budi pekerti Tialo, Tonaas itu, dalam sjarat penghidupan jang baru.
Dengan tidak sadar apa jang dikerdjakannja, ia mengendapkan daripada semua peladjaran dari barat itu, hanja hal-hal jang dapat berpaduan dengan djiwa rakjatnja, seperti merekapun didjadikan karena pengaruh jang berabad-abad dari alam disekelilingnja.
Begitulah Rondor Marnarimbing pada saat akan meninggalkan negerinja untuk berkenalan dengan negeri-negeri jang baru. Ia dapat menerima hal-hal jang baru, sebab kisah-kisah jang dinjanjikan Tialo telah merangsang hasratnja untuk berpengetahuan jang lebih banjak. Dan sewaktu ia sedang duduk sendirian diberanda muka sambil memikirkan nasib masa depannja dan berchajalan, maka terdengarlah suara “Manguni Rondor” dari djauh dan menudju kearahnja, maka ia jakin pula bahwa nenek-mojangnja menjetudjui maksudnja. Ia mengetahui pula bahwa ia akan berhasil, walaupun pada waktu itu tidak diketahuinja, bagaimana nasibnja akan membawanja djauh dari kampung halaman.
Hari keberangkatannja hampir tiba. Tamu-tamu bertambah banjak, kawan-kawan dari keluarga dan sanak saudara jang djauh. Kadang-kadang mereka itu datang dari tempat jang djauh dan oleh karena itu harus menginap di Kasendukan untuk beberapa hari. Ada jang menginap dirumah major atau disalah satu rumah tambahan dihalaman, ada pula jang menginap dirumah orang-orang jang terpandang didesa. Mereka itu makan bersama didalam sebuah bangsal jang tergesa-gesa telah dibangun dengan medja-medja makan jang pandjang. Sesuai dengan adat-istiadat pada waktu itu, maka setiap keluarga membawa berbagai bahan makanan jang dihasilkan alam berlimpah-limpah seperti : ajam, telur, babi, buah-buahan dan lain-lain.
Denan lagi jang setiap hari harus mengatur, bagaikan seorang djenderal ditempat peperangan, mengerdjakan pria dan wanita dari “halaman” untuk membantu dengan apa sadja jang harus diselesaikan. Tungku-tungku menjala sampai djauh malam, matanja wanita-wanita mendjadi merah karena kepulan asap dan rambutnya dibungkus kain agar tidak terurai dan tidak terkena asap.
Anak-anak laki-laki dari “halaman” hilir-mudik dengan roda-roda untuk mengangkut bahan-bahan jang dibutuhkan. Ada air minum jang harus diambil dalam tong dari sumber mata air diluar desa, atau dari daun djagung dan batang-batangnja untuk makanan binatang-binatang penghela jang banjak kepunjaan tamu-tamu jang ada di “halaman”. Tiap hari roda-roda jang dimuati penuh dengan padi itu pergi ke penggilingan, untuk kemudian kembali lagi dengan beras. Bukan main ramainja, seolah-olah sedang diadakan persiapan untuk pesta perkawinan.
Untuk Rondor kesibukan seperti ini tidak asing lagi. Kesibukan jang disebabkan karena kepergiannja jang lain datang. Sewaktu saudara sepupunja hendak pergi ke pulau Djawa dua tahun jang lalu untuk maksud jang sama, maka ia pun telah menjaksikan kesibukan-kesibukan jang sama dirumah pamannja. Bepergian ke Djawa pada waktu itu kila maksudkan ini kurang lebih 50 tahun jang dapat ditafsirkan sebagai bepergian untuk selama-lamanja. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan kemungkinan untuk pulang dan waktu liburan. Mereka tidak jakin bahwa banjak jang akan terdjadi dalam djangka waktu sembilan tahun. Rondor melihat masa depannja dengan kejakinan, bahwa ia akan datang kembali dan mungkin akan mengganti dokter-djawa jang telah tua di Kasendukan.
Dunia sosial tjiptaannja berhenti sampai dipelabuhan Menado. Apa jang ada diluar itu, tidak termasuk dunianja. Ia pergi kepulau Djawa hanja untuk beladjar dan melihat hal-hal jang asing baginja. Fikiran-fikiran untuk mengatakan orientasi kemasjarakatan diluar Minahasa sama sekali tidak ada. Ia akan berangkat dan sudah pasti akan kembali 1agi, asal ia tetap sehat sadja. Segitulah pandangan masa depannja. Begitupun dari kebanjakan orang-orang jang bepergian.
Hari keberangkatan ke Menado adalah puntjak keramaian ; tiap orang dari Kasendukan berpamitan lagi dengan Rondor. Untuk sementara orang tua, ia mendjadi tuan-muda, akan tetapi kebanjakan masih menganggapnja ia sebagai anak jang suka menaiki kuda tanpa pelana dan berlarian dengan kudanja ditanah-tanah datar dan pegunungan di daerah Kasendukan. Sepandjang hari ia sibuk. Ia duduk dengan sekelompok wanita-wanita jang sudah lanjut usianja dan mentjoba mendjawab kelutjuan-kelutjuan jang dilontarkan kepadanja dan kemudian ia duduk dengan kaum pria, mendengarkan tjeritera-tjeritera jang agak dibesar-besarkan mengenai Tamporok, seorang sersan pensiunan jang dianugerahi “Ridder-kruis” di Atjeh dan karenanja disebut orang “Ridder”.
Penduduk Kasendukan sudah mengetahui kisah itu, pada tiap-tiap pertemuan kisah itu ditjeriterakan, jang tiap tahun bertambah hebat dan semarak. Kadang-kadang major bertanja pada diri sendiri, apakah Tamporok sendiri masih mengenal garis antara apa jang sebenarnja dan apa jang ditambah dalam tahun-tahun sesudahnja itu. Rondor berpendapat bahwa apabila meniadakan chajalan dari kisah itu maka apa jang masih ketinggalan tetap tjukup membanggakan pedjoang kawakan itu. Dan djika hal sematjam itu akan terdjadipula dengan dirinja, maka iapun tidak akan mengenal garis itu. Pemuda-pemuda di Kasendukan menggemari sekali kisah Tamporok : Mereka itu membesarkan hati pahlawan dan dengan pertanjaan-pertanjaannja menambahkan semangat veteran itu, sehingga “kenang-kenangannja” bertambah kalau ia memanggil mereka itu untuk “Kebasaran”, dimana ia telah mengangkat diri sendiri sebagai kepala dan pelopor, maka mereka itu datang dan tunduk melaksanakan segala perintah-perintah Tamporok jang bergema dikalangan barisan. Ia termasuk orang jang dianugerahkan djenggot tebal dinegeri itu sehingga ia diberi djulukan “sokoman” jang berdjenggot tebal, dan mungkin hal itu menambah kewibaannja, menimbulkan rasa kagum dari orang, kalau ia dengan berpakaian perang untuk kaum tua memeriksa barisannja.
Rondor menjamakannja dengan seorang adu gulat Djerman, jang pernah dilihat gambarnja dalam buku sedjarah. Dan achirnja, setelah bermatjam-matjam dalam gerakan-gerakan terdengarlah komando “ajat unsati” angkat sendjata dan suara Tamporok jang bernada berat bagaikan besi menguasai teriakan-teriakan peperangan dari gerombolannja. Memang ia adalah seorang pemimpin gerombolan.
Sewaktu Rondor pagi itu sedang mendengarkan kisah Tamporok, datanglah Denan dan duduk bersama-sama. Tamporok jang melihat tubuh Denan serupa Hercules itu, segera memutuskan kisahnja mengenai penjerbuan benteng duri dan terus memandang Denan.
“Sebenarnja engkau harus turut serta denganku untuk menjerang musuh”, berkata ia pada Denan. “Tidak ito”, Denan mengelakkannja, “biarlah aku tinggal di Kasendukan untuk rnengurus kampung halaman dan ternak. Aku tidak sudi berkelahi dengan orang-orang jang tidak pernah bersalah padaku. Apabila rnereka datang kemari untuk mengusir kita dari negeri leluhur kita, nistjajalah aku akan turut berdjuang denganmu”.
Pak guru dari desa jang suka bertjanda turut tjampur dalam pembitjaraan ini dan berkata: “Ach, kau Denan, kukira engkau takut”. “Ja”, djawab Denan, “aku memang tidak berani untuk berkelahi dengan orang-orang jang tidak pernah mengganggu kita. Kusangsikan apakah Emnpung-Empung dapat, menjetudjuinja”. ”Engkau benar Denan”, berkata penrdeta dengan tegas. “Engkau tidak boleh berbuat sesuatu kepada orang lain apa jang kau sendiri tidak rnenghendakinja”.
Rondor membenarkan Denan djuga, dan untuk menghentikan pembitjaraan jang bertele-tele itu, maka ia mendesak kepada Tamporok untuk melandjutkan kisah penjerbuan benteng-duri.
Dengan senang hati Tamporok memenuhi permintaan itu dan mengisahkan bahwa dialah orang pertama jang dapat menerobos benteng dan dikerumuni sepuluh orang musuh.
“Bukankah delapan orang, sebagaimana kau katakan padaku waktu jang lalu?” bertanjalah pak guru jang bandel itu.
“Mungkin adalah delapan orang” djawab Tamporok. ”Limabelas tahun jang lalu ha1 ini terdjadi dan sudah tentu aku tidak begitu ingat lagi. Bagaimanapun djuga aku memukul kekiri dan kekanan dan memanggil Empung-Empung untuk memberi bantuan padaku. Beberapa saat kemudian kuketahui bahwa gagang senapanku hantjur karena pukulan-pukulan itu dan hanja larasnja sadja jang tertinggal dalam tanganku. Pada saat itu, Setoe, seorang kopral Djawa, dapat merembes pula dengan enam orang anak buahnja. Segera selesailah pertempuran. Dan, Denan kalau Empung-Empung tidak menjetudjuinja pekerdjaan itu, nistjaja mereka itu telah menjuruh musuh untuk membunuhku”.
Rondor memberi isjarat kepada Denan, agar ia tidak memperdebatkan itu. Pada saat itu datanglah seorang anak laki-laki memanggil Rondor, ia harus pergi ke major diberanda muka untuk menerima pembantu pendeta dan pak guru Belanda jang sudah tua jang djuga ingin berpamitan. Begitulah berlangsungnja hari terachir di Kasendukan.
Sesudah sendja Denan melaporkan bahwa iring-iringan roda sudah siap untuk belangkat ke Menado. Mendjelang sendja tibalah mereka disana dan memasuki “bandar”. Sebelum djam 6.00 orang tidak diperkenankan memasuki “Bandar”. Nampak lagi pada Rondor kedjadian-kedjadian jang berkesan. Mereka itu menaiki roda-roda itu dan berangkatlah iring-iringan itu. Terdepan berdjalanlah beberapa rodaveer jang dinaiki oleh keluarga major dan beberapa sanak saudara kemudian disusul oleh 10 orang-roda lainnja. Dekat njala lampu dari bumbung bambu itu nampaklah giring-giring roda-roda berdjalan disebelah pasangan sapi-sapi.
Mereka itu adalah anak-anak dari “halaman”. Dengan tjambuk diselimpangan dilengannja dan kepalanja ditutup dengan handuk mereka itu menghalau pasangan sapi jang dipertjajakan dengan kata-kata jang muluk-muluk dan maki-makian.
Denan memimpin iring-iringan dan dengan goloknja dipinggang jang sebenarnja pedang pemenggal kepala orang itu, ia berdjalan dari roda ke roda lain, sambil memberi instruksi jang perlu dan tidak perlu.
Tialo duduk dalam roda jang terachir, karena merasa bertanggung jawab. Mungkin djuga nanti ada kedjadian-kedjadian jang tidak diinginkan, seperti umpamanya pengikut jang turun dan ketinggalan atau orang-orang jang tidak dikenal jang menaruh perhatian jang tidak diinginkan. Tialo memperhatikan segala rupa jang terdjadi, suara burung menjebabkan ia menentukan arahnja, jang serentak diperbintjangkan dengan Denan di tempat manakah iring-iringan harus berhenti sebentar untuk melepaskan lelah binatang-binatang penghela itu.
Waktu seekor ular menjeberang djalan di depan rodanja, ia segera berseru kepada Denan untuk berhati-hati. “Sebentar lagi tentu akan terdjadi sesuai”.
Setibanja disebuah desa, mereka itu melewati rumah dimana lampunja diberanda muka masih menjala. Ada 20 orang pria dan wanita duduk disitu memenuhi ruangan, banjakan terdiam dengan menundukkan kepala. “Ada jang meninggal dunia”, demikianlah kesimpulan Denan. Berkata Tialo “Itulah jang dimaksudkan ular tadi!” “Dan bagaimanakah kalau tadi itu adalah pesta perkawinan, Ito?” “Kalau memang demikian maka ular itu seharusnja menjeberang djalan dari kanan dan bukan dari kiri” sahut Tialo dengan tjepat.
Major menghentikan rodanja dan memasuki rumah jang tertimpa kemalangan itu. Rumah itu masih termasuk daerahnja, dan sebagai pater familias dari rakjatnja, maka ia tidak boleh melewati “rumah susah” itu begitu sadja. Jang hadir segera berdiri dan memanggil tuan rumah jang tergesa-gesa keluar dan memegang tangan jang diulurkan oleh major dengan kuat-kuat. Salah seorang puteranja djatuh dari pohon aren sewaktu ditemukan orang dibawah pohon aren dalam keadaan sudah meninggal dunia. Demikianlah keterangannja kepada major. “Ia tidak diperkenankan lebih landjut lagi daripada disitu sadja”, lto”, kata major “apakah jang dapat kita perbuat sebagai manusia?”. Major duduk didepan medja dan menggulung rokok dari daun djagung dan tembakau jang sudah tersedia. Dengan sabar ia mendengarkan tjeritera-tjeritera tentang panen, kemudian memberi petundjuk disana-sini, dan achirnja meminta diri. Suami-isteri menghantarnja ke rodaveer untuk memberi hormat kepada keluarganja.
Sementara itu ia menjuruh orang kedapur untuk mengambil beberapa bambu jang sudah terbakar, kemudian diserahkan kepada Tialo dengan pesanan : “Untuk didjalanr”. Rondor mengetahui bahwa bambu itu terisi lauk-pauk jang telah dimasak menurut tjara dinegerinja.
Perdjalanan dilandjutkan. Iring-iringan roda bertambah pandjang sebab roda-roda jang memuat barang telah menggabungkan diri. Mereka merasa aman untuk pergi bersama-sama, kalau terdjadi hal-hal jang tidak diinginkan, mereka dapat saling bantu membantu. Sudah tentu Tialo dan Denan telah menjakinkan terlebih dahulu, bahwa mereka itu tidak berniat djahat. Ditempat istirahat jang sudah ditentukan, dekat sungai, mereka itu berhenti untuk makan malam. Sapi-sapi dilepaskan dari roda-roda dan penghalau-penghalaunja mentjari tempat jang ada tjukup rumputnja.
Denan dan Tialo memberitahukan kepada orang-orang jang telah menggabungkan diri itu, dengan maksud apa major mengadakan perdjalanan ini, dan inilah kesempatan baik bagi mereka untuk bertemu dengan keluarga major.
Didekat djembatan ada sebuah bangsal dari bambu jang dibangun chusus untuk musafir jang beristirahat. Didalamnja terdapat sebuah medja jang kasar dan bangku dari bambu pada kedua belah sisinja. Beberapa anak buah Denan harus membersihkan tempat itu. Kemudian makanan jang telah dibawa dan dibungkus dalam daun woka dan itu ditempatkan diatas medja, setelah medja itu ditutup dengan daun pisang jang baru dipotong dari pohon, sehingga merupakan taplak. Orang-orang jang sudah tua dari antara jang menggabungkan diri itu dipersilahkan untuk makan bersama. Major itu bertjakap-tjakap tentang ternak, panen, perairan, pendeknja perihal segala rupa jang ada hubungannja dengan usaha petani. Mereka itu mendengarkan dengan seksama dan kadang-kadang memberi tanda setudju atau mendjawab pertanjaan-pertanjaan jang diadjukan. Sudah larut malam major itu berdiri dan Denan memberi isjarat kepada anak buahnja untuk memasang sapi-sapi pada roda-roda. Perdjalanan dilandjutkan.
Terdengarlah njanjian jang sedih dari roda jang terachir. Itulah sebuah lagu dari pengembara-pengembara hutan, jang apabila mereka itu sedang mengembara diwaktu malam hanja mempunjai bintang-bintang dan gunung-gunung jang tinggi sadja sebagai pedoman. Djika suara itu menghilang didalam malam jang berbintang itu, maka lagu itu dilandjutkan lagi oleh jang lain, seraja menjelesaikan tjorak jang telah dimulai tadi itu.
Seperti biasa Rondor dengan tekun mendengarkan semua njanjian-njanjian itu, banjak jang telah difahami, tetapi djika ada terdapat sedikit perbedaan sadja atau ada lagu jang baru, maka ia segera menghafalkannja dan mentjoba menjanjikan lagu itu. Ia terpesona oleh gairah jang dirasakan oleh penjanji-penjanji : mungkin dengan tidak sadar dan menurut nalurinja. “Alangkah bagusnja”. Ia menangkap perkataan ibunja jang duduk didepannja, pada suatu bagian dari lagu itu. Dan Rondor mengetahui, bahwa ibunja telah mendengarkan djuga, sebab iapun dapat membedakan bagian jang baru itu.
“Orang jang dapat menjanjikan sebagus itu sudah tentu orang jang baik, ibu”, djawab Rondor. “Memang mereka itu demikian, nak”, kata ibunja, “dan ingatlah selalu kepada hal ini, apabila engkau sudah ada di negeri asing diantara orang-orang asing”.
Rondor tidak begitu memahami apa jang dimaksudkan ibunja, akan tetapi ia tidak mempunjai waktu untuk memikirkan itu. Perhatiannja tertarik lagi oleh suara jang baru. Suara jang menjanjikan pengembaraan Manimporok, jang dibimbing oleh seekor kerut lawuan, seekor burung laut, mentjari seorang puteri aror jang tjantik.
sebuah kisah yang mengharukan dan menggugah saya, bahkan sempat merinding ketika membacanya. karena beberapa kebiasaan yang dilakukan diatas masih kental ditanah minahasa saat ini. senang sekali membaca kisah DR. Sam Ratulangi ini. terima kasih ibu Lani
Olivia yang budiman,
Terima kasih atas komentar Anda….. Sungguh senang hati saya membaca komentar itu. Kubaca lagi bagian2 tertentu dari tulisan Ayah saya itu dan bisa merasakan keharuan Anda juga.
Kepribadian Major itu sungguh mengandung “leadership” yang murni menurut perasaan saya. Suatu kepemimpinan yang kita semua dambakan untuk pemimpin2 kita masa kini.
Membaca cerita ini, saya sadar bahwa kita harus bangga jadi orang Minahasa , jangan malu dengan rambut yang lurus badan yang kecil , tapi bangga bahwa kita adalah Tou Minahasa .Terima kasih Ibu Lani .
Dear Yuriko, Sudah agak lama ya, baru saya sempat balas komentar Anda. Sayapun berbahagia dan bangga bahwa saya dapat meneruskan tulisan2 Alm. Ayah saya kepada generasi muda! Kepada muda-mudi seperti Anda yang masih menghidupkan terus budaya kita.
Menarik sekali membaca renungan Sam Ratulangi pada usianya yg mungkin sekitar 50tahun waktu itu. Apalagi sewaktu dia menceritakan bahwa kaum muda di bawah 30 tahun merenungkan apa yg akan diperbuat di masa depan, sedangkan yg sudah tua merenungkan apa yg telah diperbuat di masa lalu. Tepat sekali.
Benar Ran….. saya sekarang saat2 sering berefleksi ke masa lalu. I am not yet as smug as to be able make an accounting statement report but, just to live the memories again