Patung baru M.H.Thamrin

Patung M.H. Thamrin di pusat kota Jakarta…..

Pada suatu hari di salah satu terbitan Harian MERDEKA saya kebetulan membaca bahwa di Pidato Peresmian Pengangkatan Bp. Anies Baswedan selaku Gubernur DKI ada satu bagian yang menarik perhatian saya:….. saya kopy SEBAGIAN kecil sebagai berikut :
“Sebuah kearifan lokal dari Minahasa, “Si tou timou tumou tou.” Manusia hidup untuk menghidupi orang lain, menjadi pembawa berkah bagi sesama. Sebuah pengingat bagi semua manusia, namun terutamanya bagi para pemimpin. Mohammad Husni Thamrin, seorang putra terbaik Jakarta pernah mengatakan: “Setiap pemerintah harus mendekati kemauan rakyat. Inilah sepatutnya dan harus menjadi dasar untuk memerintah. Pemerintah yang tidak mempedulikan atau menghargakan kemauan rakyat sudah tentu tidak bisa mengambil aturan yang sesuai dengan perasaan rakyat.” Kata2 “Si Tou Timou Tumoutou”  ini terpatri dalam patungnya yang berdiri di Lapangan Monas di hadapan kita sekarang ini.”
Maka langsung saya mencari naskahnya dan menemui sitat diatas.Bagi saya hal ini LUAR BIASA, bukti dari kebinekaan sumber budaya Indonesia yang menjadi “melting pot” dari kearifan lokal segenap komponen daerah2. Putera Betawi dan “Si Tou Timou Tumou Tou”. Kata2 ini adalah dalam Bahasa Tondano antik atau purba ini terpatri di dalam patung Husni Thamrin, kata Bpk Anies Baswedan…… Koq bagaimana sampai bisa?

MUNGKIN untuk menjawab pertanyaan ini ada penjelasannya yang saya berikan dibawah ini. Sumbernya adalah pada ingatan saya dan juga pada berbagai bacaan dan dari keterangan kakak saya, Emilia Augustina Pangalila-Ratulangie.

Adapun setelah tahun 1927 ketika Ayah saya menjadi Anggauta dari Volksraad di Batavia ternyata beliau menjalin persahabatan2 dengan berbagai anggauta2 lain rekan2nya. Namun persahabatan yang kokoh terjalin antara Ayah , Bpk Husni Thamrin dan Bpk.Soetardjo Kartohadikoesoemo. Persahabatan ini ternyata menjadi sangat kokoh karena kesamaan cita2 dan sejalannya strategi mereka dalam upaya2 kearah pencapaian kemerdekaan. Maka juga para anggauta2 keluarga, yang kira2 seumur, menjalin persahabatan, dan saling berkunjung sesama. Aku ingat kembali, memang disaat2 itu kebetulan kami berdomisili berdekatan, keluarga kami di Kramatlaan, Kel Soetarfjo di Raden Saleh Laan, dan keluarga Thamrin di Kenari Laan. Menjelang awal Perang Dunia II maka sewaktu Ayah saya sudah di “out” (Silahkan baca ceriteranya oleh alm. Ibu saya) dari Volksraad sedangkan kedua rekannya masih aktip. Lalu, sesuai yang saya baca di satu buku tentang Soetardjo, maka konon ada undangan dari seorang wartawan Jepang untuk makan malam di restoran Yen Pin, satu restoran yang sudah tak ada tetapi dulu letaknya dekat dengan Istana tepatnya disudut jalan. Undangan tersebut adalah untuk ketiga orang sekawan itu. Namun Soetardjo menolak pertemuan itu dan berkata kepada yang lainnya bahwa memenuhi undangan tersebut berbahaya. Karena ia tahu bahwa Belanda takut sekali pada Jepang yang dapat membahayakan kestabilan pemerintah kolonial. Ternyata bahwa kedua Bapak2 yang lain bersedia menerima undangan tersebut dan bertemu dengan orang Jepang itu. Dan benar, menurut tulisan sumber saya, ternyata waiter melaporkan pertemuan itu kepada PID, Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Polisi Politik).

Tak lama kemudian Ayah saya dan Oom Thamrin ditangkap dan dibawa ke PID  untuk diinterogasi beberapa hari lamanya, rumah2 masing2 dibongkar untuk mencari bahan bukti. Selama di pos tsb keduanya tidak diperlakukan sesuai semestinya dan dibiarkan tidur dilantai. Alhasil pemeriksaan: TIDAK ada barang apapun yang dapat membuktikan bahwa keduanya adalah mata2 Jepang. Kedua2nya diperbolehkan pulang namun dengan status tahanan rumah (huis arrest) beberapa hari.
Bagi Ayah saya dan keluarga tentu satu hal yang membahagiakan. Namun bagi Oom Thamrin yang kondisinya saat itu kurang baik dimana beliau menderita sakit yang cukup berat. Waktu istri beliau ingin memanggil dokter untuk memeriksa suaminya maka ini TIDAK diperbolehkan oleh pihak PID. Akibatnya maka karena menderita sakit itu beliau meninggal dunia.
Hal ni menjadi satu bencana bagi perjuangan nasional, karena seorang pejoang kemerdekaan telah gugur.

Ceritera ini saya tulis untuk menghormati TIGA SEKAWAN ini yang kini telah lama tiada tetapi dibenak saya masih hidup terus. Sebagai epilog perlu saya tambahkan bahwa menurut keterangan yang saya peroleh sewaktu pada pembongkan/pemeriksaan oleh yang berwajib di makam Bpk M.H.Thamrin diketemukan secarik kertas yang bertuliskan  kata2 “Si Tou Timou Tumou Tou” yang agaknya ditulis tangan oleh Ayah saya pada secarik kertas dan diselipkan ke disamping jenazah saat2 berpisah dengan kawan seperjoangannya.

SEMOGA pengorbanan mereka dan pengorbanan para pejoang2 kemerdekaan lain yang alangkah banyak itu tak sia2. Dan semoga kita dapat menjaga kemerdekaan yang mereka wariskan kepada kita.dengan baik untuk bangsa dan negara yang adil, beradab dan sejahtera.

Published by laniratulangi

I am a retired chemical consultant, now enjoying my "golden years", dedicating myself to all sorts of hobbies: reading, blogging, digging

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: