Aksi Perlawanan Siswa-Siswa SMP Nasional Makassar (1946) *)
*) Editor: REBLOGGED, Source is at the moment not yet available (13/01/2016)
Willem Yzereef, pada bukunya, De Zuid-Celebes Affaire menulis:
“In de afdeling Makassar groeide de anti-Nederlandse beweging zodanig dat de stad Makassar in Desember (1946) ingesloten dreigde te raken. Er was vrijwel geen contact meer met de buiten wereld. In de onder afdelingen Takalar en Djeneponto, aan de zuid kust, kreeg het na September op grote schaal steun van de bevolking. De communicatie lijnen van de officiale instanties werden uit geschakeld, wegen geblokkeerd door omgekapte bomen, telefoon kabels doorgesneden. Bruggen werden opgeblazen of in brand gestoken. In November werden de onderafdelingen Takalar en Djeneponto beschouwed in de handen van de “terroristen” te zijn. De Nederlandse positie was in Dezember 1946 voor de komst van het DST (Depot Speciale Troepen), hopeloos.”
Perlawanan secara besar-besaran tidak berlanjut karena sebagian besar dari pimpinan senior yang berpengalaman meninggalkan Sulawesi Selatan pergi ke Jawa. Sementara yang lainnya, termasuk pimpinan pemerintahan Sulawesi Selatan, Gubernur DR Ratoe Langie cs, dan pejabat administrasi telah ditangkap. Yang tinggal dan tetap melanjutkan perjuangan pada umumnya adalah para pemuda dan pelajar bersemangat tinggi dan serba emosional sekalipun kurang berpengalaman.
Dengan dilandasi motivasi nasionalisme yang diperoleh para pelajar SMP Nasional dari guru-guru yang umumnya terdiri dari tokoh-tokoh pergerakan perlawanan tidak surut. Serangan sporadis serba dadakan dengan cara ‘hit and run’ terhadap pasukan Sekutu maupun Belanda sering dilakukan hingga merekapun meraih dan mengumpulkan senjata. Setelah menyusun kekuatan, mereka menyerang kota Makassar dari kampung Tidung yang menjadi salah satu basis. Sasaran penyerbuan adalah posisi-posisi Belanda di Limbung, Monco Bolang dan Paciro.
Taktik ini berhasil dan dalam aksi penyerangan ini merebut senjata-senjata milik Belanda untuk digunakan bagi aksi perlawanan. Setelah menduduki Paciro, para pemuda/pelajar membentuk pasukan khusus yang mobil dengan sebutan Harimau Indonesia, yang intinya terdiri dari para pelajar SMP Nasional pimpinan Muhammad Syah, didampingi Wolter Mongisidi sebagai Wakil dan Maulwi Saelan sebagai kepala Staf. Yang juga menarik dari pasukan ini adalah satuan Laskar Wanita dan Palang Merah pimpinan Emmy Saelan dengan wakil, Sri Mulyati.
Pasukan Harimau Indonesia beroperasi di wilayah kota Makassar dan sekitarnya terbagi dalam unit-unit kecil antara 3-4 orang. Mereka ini sangat mobil dan selalu bergerak cepat dan berpindah-pindah tempat melalui pangkalan/basis masing-masing, dan selalu berkoordinasi dan saling menukar informasi. Wolter Monginsidi berperan sebagai pimpinan operasional untuk Makassar kota dan sekitarnya. Bersama anak buahnya ia beraksi siang dan malam di tengah kota. Sasaran utama melucuti senjata-senjata polisi Belanda.
Pernah dalam suatu peristiwa di Klapperlaan (kini Jl Wolter Mongisidi), Wolter bersama Maramis, Abdullah Hadade dan Wim Supit, dengan memakai seragam KNIL dari tentara Belanda yang berhasil di lucuti. Dengan seragam itu, Wolter menghentikan sebuah jip militer yang ditumpangi seorang Kapten KL. Ketika jip itu berhenti, sambil menodong senjata dengan serentak Wolter berkata: “Ik ben Wolter.” Ketika disuruh turun, muka sang kapten pucat pasi dan menuruti perintah Wolter. Selain melucuti senjata, sang perwira harus membuka baju hingga tinggal celana dalam dan jip dirampas dan ditinggal di tepi jalan. Wolter segera memakai baju seragam perwira itu lengkap dengan tanda pangkat. Dengan jip hasil rampasan dan dikemudikan oleh Maramis, dengan Wolter di depan dan senjata-senjata dibawah tempat duduk. Sedangkan Abdullah Hadade duduk dibelakang menyerupai tahanan yang ditangkap dengan tangan terikat. Jip menuju KIS Kampament (Markas KNIL).

Melihat seorang kapten hendak masuk kompleks, penjaga KNIL di pos jaga langsung memberi hormat, dan sang kapten (Wolter Monginsidi) bersama dengan jip masuk dengan leluasa.
Jip berputar dan Wolter bersama Maramis dan Hadade sambil memberondong tembakan mengelilingi Kampement hingga menimbulkan kepanikan penghuni. Setelah itu, dengan kecepatan tinggi, jip kabur ke pinggiran kota, dan ditinggal ditepi jalan SS.
Merekapun masuk kampung menuju Tidung. Peristiwa ini menjadi buah bibir penduduk disekitar yang mengagumi keberanian Wolter cs. Makassar menjadi tidak aman baik bagi militer maupun sipil Belanda. Laskar giat melakukan aksi di Makassar dengan pelemparan granat ataupun rentetan tembakan terhadap kamp-kamp militer dan rumah-rumah pembesar Belanda. Juga melakukan perang psikologis dengan penyebaran pamflet diberbagai pelosok kota. Makassar dikucilkan, jalan-jalan raya di blokir dengan penebangan pohon-pohon yang melintang di jalan-jalan yang dibantu sepenuhnya oleh masyarakat luas. Semua jaringan komunikasi militer di Makassar terputus karena kabel-kabel telepon sudah dipotong oleh laskar Harimau Indonesia yang sebagian besar adalah pelajar-pelajar SMP Nasional. Lagi pula sebagian besar dari daerah-daerah di Sulawesi Selatan telah dikuasai sepenuhnya oleh para gerilyawan Republik, seperti di Madjene, Polewali, Polombangkeng, Goa, Bone, Kolaka, Makale, Pinrang, Enrekang dan Pangkajene.
Begitu paniknya orang-orang Belanda, hingga mereka bersama semua keluarga harus naik kapal di malam hari untuk istirahat dan baru turun ke kota di pagi hari. Keadaanpun menjadi tambah runyam ketika pasukan Sekutu menarik semua pasukannya dari Indonesia pada 30 November 1946, termasuk pasukan Australia di Makassar dan Indonesia Timur. Sejak itupun kekuasaan beralih kepada pihak Belanda, tetapi tidak menyenangkan karena aksi para laskar Harimau Indonesia yang tiada henti-hentinya. Wolter sebagai Komandan Operasi III daerah kota Makassar dan sekitarnya, mengobrak-abrik kekuatan militer Belanda di kota. Banyak Laskar Harimau Indonesia tidak dikenali oleh mata-mata Belanda, dan berkeliaran dimana-mana dengan menyamar memakai baju seragam KNIL dari hasil rampasan lengkap dengan seragam, pangkat dan senjata, dan tiba-tiba menyerang pos-pos militer Belanda. Tidak berfungsinya pemerintahan Republik di Sulawesi Selatan akibat penangkapan Belanda tidak memperbaiki keadaan. Bahkan merugikan Sekutu pimpinan Brigadir Jendral Chilton karena terlalu memberi peluang Belanda untuk mengembalikan hegemoni di Indonesia.
Posisi Belanda juga tidak menguntungkan, karena dengan aksi penangkapan yang dilakukan terhadap para pemuka Republik, justeru di hadapkan pada militansi pelajar dan pemuda yang tidak menenteramkan posisi Belanda di Sulawesi Selatan. Walau begitu aksi perlawanan Laskar Harimau Indonesia tak dapat memenangkan pertarungan, karena sebagian besar pemuka-pemuka laskar berada di Jawa. Dilain pihak laskar tidak terorganisasi rapi mengimbangi militer Belanda, yang lebih baik dalam sistem pertempuran maupun persenjataan. Lagi pula sebagian besar dari pasukan khusus DST terlatih di Amerika-Serikat.
Kedatangan Westerling di Sulawesi Selatan
Pada 11 Desember 1946, pemerintahan administrasi Belanda, Binnenlands Bestuur (BB) memberlakukan Negara Dalam Keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg, SOB). Untuk mengatasi keadaan di Sulawesi Selatan, pihak Belanda mendatangkan bantuan dari Divisi 7 Desember KL langsung dari negeri Belanda dan satu unit Dienst Speciale Troepen (DST, Pasukan Khusus Baret Merah) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling guna mengamankan Makassar dan sekaligus memadamkan aksi perjuangan para “ekstrimis.” Dalam konsepnya, Westerling menerapkan caranya yakni: “Apabila kita hendak membunuh seekor tikus yang membahayakan rumah, yang paling mudah ialah, kita harus membakar rumah tersebut.
Jadinya, apabila kita hendak menangkap seorang exktrimis yang bersembunyi dalam masyarakat, jalan yang paling ampuh adalah membunuh semua orang di sekitar tempat itu.”
Cara ini diterapkan oleh Westerling untuk menciptakan suasana shock therapy hingga terjadi ketakutan psikologis (angst psychose) pada masyarakat untuk tidak membantu para “ekstrimis.” Operasi pembantaian yang dilakukan Westerling dengan diberlakukannya Unsang-Undang SOB antara 10 Desember 1946 hingga 5 Februari telah menghilangkan ribuan nyawa pejuang dan gerakan bawah tanah PNI dan pro-Republik di Sulawesi Selatan.
Operasi pembantaian Westerling dilakukan dalam beberapa tahap:
11-16 Desember 1946, aksi pembantaian di Makassar dan sekitarnya.
17-16 Desember 1946, operasi di Gowa. Takalar, Jeneponto, Polombangkeng dan Binamu.
2-16 Januari 1947, operasi di Bonthain, Gantaran, Bulukumba dan Sinjai.
17 Januari-5 Maret 1947 operasi di Maros, Pangkajene, Sigeri, Tanete, Barru, Parepare, Polewali, Mandar, Sidenreng dan Rappang.
Aksi pembantaian yang dilakukan Westerling dengan pasukan DST menggema hingga di dunia internasional, dan agar tidak terpojok, pihak Belanda menarik mundur pasukan Westerling pada 4 Maret 1947.
Hal ini terjadi ketika wartawan A Karim DP melaporkan peristiwa kekejaman Westerling yang dimuat pada harian Berita Indonesia. Berita ini menggemparkan dan menjadi ramai. Padahal Belanda berusaha menyangkal dan membreidel harian yang memberitakan peristiwa tersebut. Di Yogyakarta, Soekarno bertanya kepada Kahar Muzakar mengenai jumlah korban pembantaian yang dilakukan pasukan Westerling di Makassar yang di jawab singkat oleh Kahar: “40.000 yang tewas.”
Proses Pembentukan Divisi Hasanuddin
Aksi pembantaian yang dilakukan Kaptem Westerling dengan pasukan khusus DST dan situasi di Sulawesi diikuti oleh Soekarno-Hatta dan para pimpinan TRI di Yogyakarta. Untuk itu TRI membentuk pasukan ekspedisi Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) dikirim dari Jawa secara bergelombang di akhir 1946 hingga awal 1947. Rombongan ini mendarat dan berada di daerah operasi Laskar Harimau Indonesia. Kedatangan ekspedisi TRIPS, selain memperkuat dan mengkoordinasi laskar laskar perjuangan, juga membentuk dan membina satuan-satuan untuk menjadi Divisi Tentara Republik Indonesia (TRI).
TRIPS gelombang pertama, masing-masing dipimpin Kapten Muhammadong, Kapten Mohammad Jusuf, Lettu A Latif, Lettu M Said dan Pelda Murtala. Rombongan berikut dipimpin Kapten Andi Sarifin dan Lettu Andi Sapada. Dua hari kemudian tiba rombongan Kapten Andi Mattalatta. Disusul kemudian dengan pendaratan rombongan Kapten Saleh Lahade dan Lettu Andi Oddang.
Pendaratan gelombang pertama TRIPS terjadi kontak senjata oleh hadangan pasukan KNIL. Pertempuran terjadi di daerah Suppa, yang ketika itu pihak TRIPS hanya berkekuatan satu peleton, sedangkan yang dihadapi satu kompi KNIL dengan senjata serba lengkap hinggga tidak seimbang. Akibatnya, banyak dari personal TRIPS gugur, terutama dalam pertempuran di Muntala.
Sejak itupun pendaratan dilakukan ditempat-tempat yang di rahasiakan yang aman dan tidak diketahui pasukan KNIL. Umumnya rombongan ekspedisi dari Jawa memusatkan kekuatan gerilya di Paccekke, di atas Parepare. Ditempat ini terjadi pertemuan bagi pembentukan Tentara Republik Indonesia Sulawesi, sesuai instruksi Panglima Besar Jendral Sudirman dalam surat perintahnya yang dibawa Andi Mattalatta.
Proses pembentukannya memerlukan sekitar satu bulan untuk menghadirkan para pimpinan berbagai badan laskar perjuangan di Sulawesi Selatan.
Konferensi Paccekke berlangsung pada 20-22 Januari 1947 yang dihadiri antara lain oleh:
-Andi Selle Mattola dan Muhammad Taib, mewakili Suppa
-Hamid Aki dan Hussen, mewakili Masseurengpulu/Enrekang
-Rahmansyah dan M A Latif mewakili Ganggawa
-Andi Domeng dan Andi Cabambang mewakili Soppeng
-Andi Parengrengi mewakili Mandar
-Andi Mattalatta, Saleh Lahade, Andi Sapada, Andi Oddang sebagai
eksponen TRI Persiapan Sulawesi
-Muhammad Syah dan Maulwi Saelan mewakili Harimau Indonesia dari
Makassar.
Pimpinan laskar dari Masamba, Malili, Palopo, Polombangkeng tidak bisa hadir karena ketatnya patroli pasukan Belanda, sedangkan Andi Mayulai baru tiba setelah konferensi selesai. Pasukan yang dikerahkan di Pacekke sekitar 700 personal dengan persenjataan, setengah dari kekuatan terdiri dari senjata ringan dan senjata otomatis. Mereka ini bertugas melakukan pengamanan di sekitar konferensi yang terbagi dalam tiga lapis.Konferensi itu memutuskan:
Membentuk Divisi TRI Sulawesi Selatan dengan nama Divisi Hasanuddin, terdiri dari 3 resimen, masing-masing membawahi daerah pertahanan Makassar dan sekitarnya, Parepare dan sekitarnya, Palopo dan sekitarnya. Susunan Staf komando Divisi:
Panglima (pelaksana) : Mayor Andi Mattalatta
Kepala Staf : Mayor Saleh Lahade
Seksi I : Kapten Muhammad Syah
Seksi II : Kapten Maulwi Saelan
Seksi III : Kapten Andi Sapada
Seksi IV : Kapten Andi Oddang
Konderensi Pacekke juga membentuk bagian operasi dan merencanakan serangan umum pada 2 Februari 1947, untuk membangkitkan kembali semangat juang rakyat sebelum kedatangan Westerling. Tetapi operasi ini gagal, karena yang dihadapi adalah pasukan khusus DST pimpinan Kapten Westerling yang sangat terlatih dan professional. Banyak diantara mereka ini di didik di AS dan Inggris sebelum diberangkatkan ke Indonesia. Operasi gabungan KL/KNIL pimpinan Westerling dengan mobilitas tinggi dan terus menerus terhadap lima afdeling di Sulawesi Selatan, ditambah dengan blokade total, dan semua orang yang dicurigai ditangkap untuk kemudian ditembak mati, membuat Staf Komando Hasanudin harus memperhitungkan dan perlu melakukan strategi.
Untuk itu Staf Divisi melakukan hijrah ke Jawa guna menyusun kekuatan baru. Atas dasar pertimbangan perjuangan jangka panjang, sebagian pimpinan teras Divisi Hasanuddin hijrah ke Jawa untuk melakukan konsolidasi dan sebagian lagi meneruskan perlawanan dengan taktik perang gerilya. Umumnya mereka yang hijrah, berlayar naik perahu-perahu pinisi yang bergerak terutama pada malam hari.
Editor : Silahkan baca juga “Latar belakang sejarah ……”
Foto:
Kapten Raymond Westerling didatangkan ke Makassar dengan pasukan khusus hingga terjadi aksi pembantaian di Makassar.
Taktik bumi-hangus dilakukan pasukan Westerling di luar kota Makassar.
*) Editor: Source is at the moment not yet available (13/01/2016) Aksi Perlawanan Siswa-Siswa SMP Nasional Makassar (1946)
Terima kasih para pejuang, mungkin para pelajar yang masih SMP itu mungkin tidak dikenal ataupun tidak sematkan tanda pahlawan, namun pengorbanannya sungguh menginspirasi.