GEDUNG YAYASAN PERGURUAN KRIS
Jalan Sam Ratu Langie 26-28, Jakarta Pusat
Email dari Emlia Pangalila PhD
Tuesday, March 31, 2009 3:28 PM
Email dari Emilia Pangalila di Nederland kepada Lani Ratulangi di Indonesia berkaitan dengan tidak terawatnya gedung sekolah KRIS di alamat tersebut (lihat foto dibawah ini dibuat tanggal 2 September 2008)

Kepada kalian,
Perumahan Perguruan KRIS adalah rumah bersejarah karena waktu Perang Dunia II ialah kedudukan Penolong Kaum Sulawesi, pusat pertolongan di selurh Jawa, untuk wanita-2 Minahassa yg terlantar karena suami-2 mereka di interneer oleh tentara Nippon karena mereka prajurit KNIL. Sesudahnya perang wanita-2 ke Minahassa dan menyebarkan disana kesedaran Kebangsaan Indonesia! Saya mengalami ini waktu tahun 1949 pada penguburan ayah di Minahassa. Ternyata bahwa wanita-2 itu telah menjadi batang pertahanan untuk Barisan Nasional di Minahassa. waktu prya-2 telah di penjarakan oleh pemerintah Belanda. Anak-2 remaja mereka pun berontak melawan tentara Belanda pada pebruari 1946, walaupun ayah-2 mereka berfihak KNIL kembali.
Untuk kersedaran Kebangsaan maka PeKaSe (Penolong Kaum Sulawesi) penting sekali, karena wanita-2 mengalami waktu Perang Dunia II bahwa hanyalah seperti bangsa merdeka kitorang dapat membela kepentingan kitorang!
Zus Pangalila-Ratulangie
Email dari Lani Ratulangi kepada Emilia Pangalila dan segenap kawan2 dan saudara2 mengenai:
Mengenang Awal Jalan Sam Ratulangie 26, Jakarta Pusat
Date: Friday, April 3, 2009, 5:56 PM
Prolog
Email message yang saya peroleh dari kakak wanita saya yang tertua: Emilia Pangalila-Ratulangie beberapa hari lalu tiba2 membuka celah kenangan saya ke masa lalu … khususnya periode setelah pemerintah kolonial Belanda bertekuk lutut kepada tentara Jepang.
Saya ingat serdadu2 Jepang dengan topi (cap) mereka yang aneh, sebab dibagian belakangnya ada potongan2 kain terjahit pada topi mereka, katanya untuk melindung mereka agar terik panas matahari tidak mengenai tengkuk (bagian belakang leher) mereka.
Saya ingat juga sekali waktu saya naik kereta api bersama Ayah ke peristirahatan kami di Cimelati maka ada seorang prajurit memanggil saya dan memberikan jajanan kepada saya. Kata Ayah “Kasian… mereka ingat anak2 mereka yang harus mereka tinggalkan di Jepang.”
Hal lain yag saya teringat adalah bahwa saya kadang2 membantu ibu saya dengan mebuat kantong2 dari kertas coklat, yang kemudian diisi dengan beras atau dengan gula. Belakangan saya mengerti bahwa kegiatan mengepak beras dan gula pasir adalah dalam rangka satu kegiatan yang mungkin dapat disebut MAPALUS……
(senter por adalah aku dipangku sama Theo Dotulong)
Awal zaman Jepang.
Waktu perang dunia kedua meletus yang kemudian disusul dengan masuknya Jepang ke Nederlands Indie yakni tanah air kita yang waktu itu terjajah Belanda maka seluruh hubangan interinsular di Indonesia terhenti.
Anak2 sekolah dan mahasiswa yang berasal dari Minahasa, Mongondow, Makassar dan sekitarnya yang sedang belajar di Batavia tidak lagi dapat menerima uang untuk bayar biaya sekolah ataupun biaya kost. Ya sekolah pun sebagian besarnya ditutup. Guru2 bangsa Belanda di”internir”, artinya dimasukkan ke “kamp”, daerah2 tertentu seperti misalny di Tjideng diperuntukkan bagi orang2 Belanda dan Indo Belanda. Kamp2 ini dikelilingi oleh pagar kawat berduri dan penghuninya tidak dapat bebas keluar dari kamp mereka.
Tentara Nederlands Indie waktu itu adalah Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL). Antara mereka banyak dari suku Minahasa dan Ambon disamping suku2 Indonesia yang lain. Tentara ini harus mengikuti perintah dari atasan mereka dan banyak antara mereka ikut mengungsi bersama atasan ke Australia atau tempat2 lain sesuai perintah atasan.
Maka tinggallah keluarga2 dari KNIL ini yakni para ibu2 dan anak2nya sendiri dan tak tahu apa yang harus diperbuat oleh mereka. Yang saya tahu sebagian besar dari merekla tinggal di tangsi “Tiende Bat” (Bataliun ke Sepuluh) didaerah didekat Pasar Senen dibelakan Jalan Perapatan.
Pada waktu itu keluarga kami mendiami satu rumah yang cukup besar di Kramatlaan No 10. Kalau saya ingat rumah itu saya merasa senang sekali karena baik rumah maupun pekarangannya luas: dibagian tengah adalah kamar2 keluarga kami, dibagian kanan rumah itu (dilihat dari arah kalau masuk) ada deretan kamar2 yang ditempati Tante Saar (adik ibu saya) dan beberapa saudara2 sepupu laki2 saya masing2 sendiri atau berdua sekamar. Mereka bersekolah di sekolah menengah di Batavia.
Sedangkan dibagian kiri rumah itu adalah deretan kamar2 yang cukup besar yang digunakan sebagai ruangan kantor Ayah saya. Maklumlah disana diterbitkan Majalah Mingguan “Nationale Commentaren” yang keseluruhannya: disusun, ditata dan diterbitkan oleh Ayah saya sendiri dibantu oleh seorang saudara bernama Piet Pantouw. Juga ada beberapa pembantu2 rendahan sebagai “office boy”.
Saya ingat bahwa saya senang sekali bermain2 dikantor itu, yah seperti biasa seorang anak berumur 9 -10 tahun. Saya ingat juga bahwa pada hari2 tertentu setiap minggu, majalah2 sudah dipak rapih, sudah diberi tempelan alamat dan diantar dengan opelet ke Kantor Pos Pusat di JalanPos, dekat Pasar Baru. Terkadang saya boleh ikut naik opelet itu.
Halaman belakang yang luas sangat rindang dan pagarnya sampai ke dekatGereja Katolik dari perumahan Vincentius. Seringkali kudengar nyanyian merdu dari gereja itu dinyanyikan oleh paduan suara. (dan tidak menggunanakan pengeras suara … karena memang belum ada pengeras suara pada waktu itu).
Dibagian depan rumah, disebelah kanan, didepan kamar Tante Saar ada pohon Bunga Merak tempat saya biasa sandarkan sepeda saya untuk masuk rumah dari samping. Saya juga teringat akan tukang daging, langganan ibu saya untuk membeli keperluan daging untuk hidangan keluarga kami yang sebenarnya cukup besar itu yakni Ibu dan Ayah, kami sekeluarga berlima kakak-beradik, sepupu wabnita yang in de kost Guusta Lumanouw dan Inez Manaroinsong, sepupu laki2 ada 2 pula yakni Douwe Lumanouw dan Edin Rimbing. (Yang terakhir sebenarnya bukan sepupu benar akan tetapi sangat akrab pula dengan keluarga kami).

Keluarga kami sering dikunjungi aneka saudara lain dan juga sahabat2 Ayah, antara lain yang saya ingat adalah misalnya Tante Tine Waworoentoe, Oom Thamrin dan masih banyak orang lain. Kalau saya bandingkan dengan Jakarta sebagaimana keadaannya sekarang …… Alangkah beda ….
Terkadang saya jalan2 (diantar pembantu) ke Jalan Kenari dimana Oom Thamrin berdiam, atau jalan2 dengan orang tua ke Jalan Raden Saleh kerumah Kel. Soetardjo dan makan bersama keluarga itu. Yang aneh (!) adalah bahwa Ibu dan Bapak Soetardjo makan duduk disatu meja yang bulat dan yang tinggi seperti biasa sedangkan semua anak (mungkin ada 8 atau 9 orang) duduk lesehan sekeliling meja yang rendah …. Saya heran tetapi senang. Ayah dan Ibu saya tentunya duduk bersama Oom dan Tante Soetardjo dimeja yang bulat itu. Demikian nyaman hidup saya sebagai anak berumur 9-10 tahun, tidak sadar mengenai pergolakan penting yang sebenarnya berlangsung sekeliling saya.
Setelah Tentara Jepang masuk, maka satu kenangan yang relatip jelas bagi saya adalah bahwa tiba2 sekelompok Ibu2 Manado dengan anak2 besar dan kecil, ada yang digendong dalam selendang datang kerumah ingin menemui Ayah saya. Diantara mereka ada yang kelihatannya menangis….. Terus terang, saya tidak diberitahu apa yang telah terjadi tetapi saya harus mengerti sendiri bahwa rupanya mereka meminta tolong kepada Ayah saya.
Ternyata mereka adalah penghuni dari kampemen Tiende Bat dan katanya diusir oleh tentara Jepang karena perumahan itu mau digunakan oleh tentara Jepang.Sayapun tidak diberitahu apa yang berlangsung setelah itu namun bertahun tahun kemudian (tepatnya tahun 1949 waktu mengantar jenazah Ayah untuk dikuburkan di Tondano) saya lihat ditampilkan satu “sandiwara” yang dimainkan oleh beberapa anak2 muda di Tondano. Dalam sandiwara itu ada diperihatkan satu adegan yang meniru apa yang rupanya berlangsung di area Tiende Bat ditahun 1943 itu waktu Jepang ingin menduduki tangsi tempat berdiam ratusan istri2 prajurit dan opsir KNIL.
Rupanya Ayah saya ikut dengan para ibu2 itu ke tangsi mereka dan berbicara dengan opsir (rendahan) yang memimpin tentara Jepang disana. Entah apa yang dikatakan oleh Ayah saya (mungkin sesuatu yang berkaitan dengan “Geneva Convention”) , pokoknya si Jepang marah dan menempeleng Ayah saya sampai Ayah saya terjatuh ketanah. Saya ternganga menlihat adegan itu dan menanyaka kepada kakak saya Zus (Emilia) yang 10 tahun lebih tua dari saya apakah benar ada kejadian semacam itu. Iapun mengiyakan pertanyaan saya. Kakak saya kemudian berceritera bahawa Ayah saya lalu mengadukan keberatan Ayah saya atas kejadian pemukulan terhadapnya kepada pimpinan tertinggi tentara Jepang, entah siapa namanya, dan pumpinan ini kemudian memerintahkan kepada opsir rendahan itu untuk berkunjung kerumah Ayah saya untuk meminta maaf.
Entah bagaimana jadinya tetapi akhirnya keluarga2 KNIL yang ditinggalkan oleh para ayah mereka dapat diberikan penampungan didua tempat agak diluar Batavia yakni di Tanjung Oost dan Tanjung West (Tanjung Timur dan Tanjung Barat) yang tidak jauh dari Batavia. Mereka mendiami bangsal2 yang cukup luas di lingkungan yang segar dan alam yang asri. Merekapun diberikan sekedar “subsidi” beberapa sen per keluarga untuk dapat memenuhi keperluan hidup mereka yang sederhana.

Rupanya pula adalah perjuangan Ayah dan Ibu saya bersama anak2 muda baik pelajar maupun mahasiswa Manado dan daerah Sulawesi lainnya (yang terhambat pendidikannya) untuk mengatur secara bagus agar bahan pokok beras dan gula (mungkin juga minyak goreng) tersalur dengan baik kepada keluarga2 ini dengan dana “subsidi” tadi yang diperoleh setelah Ayah saya menghadap ke pimpinan tertinggi tentara Jepang itu. Ayah dan ibu saya juga mengatur agar anak2 keluarga KNIL diberikan pelajaran terus, dan yang mengajar adalah guru dan mahasiswa Manado yang pada saat itu “putus” sekolah.
Saya sering bermain2 di Tanjung Oost dan Tanjung West itu, dan bukan bermain saja akan tetapi ditugaskan untuk belajar bahasa Indonesia disana. Waktu itu saya hanya mampu berbicara Bahasa Belanda dan waktu saya dimasukkan kesekolah rakyat yang biasa saya tidak mau berangkat kesekolah. Bahkan setiap pagi saya menghilang karena bersembunyi dibawah tempat tidur dari salah satu anak2 kost. Keadaan ini dimengerti oleh orang tua saya dan saya disuruh ke Tanjung West dimana saya mendapat les Bahasa Indonesia (Melayu) oleh guru Oom Hendrik Suatan yang juga mengajar kepada anak2 KNIL.
Untuk membantu dalam administrasi maka Ibu saya mengajak saudara2nya (dan TIDAK ada korupsi). Yang saya ingat adalah Oom Jan Tambajong. Mungkin juga Bart Ratulangi membantu.
Bagi para pelajar Manado yang sudah lebih besar (mahasiswa) diatur agar mereka yang membeli beras dan bahan2 keperluan lain ditempat2 seperti Bekasi (lumbung beras) dan mereka mengangkut bahan2 ini dengan bersepeda. Alangkah indah kerjasama itu! Kegiatan ini dikoordinasikan dalam satu organisasi yang dinamakan Penolong Kaum Selebes (PeKaSe) dan markasnya adalah di Nieuwe Tamarinde Laan No 26 jalan mana kemudian diberi nama Jalan Asem Baru.
Ditahun 1976 DKI menyetujui usulan dari beberap orang Manado (mungkin Oom Nyong Umbas dkk.) agar jalan tersebut diberikan nama Jalan Sam Ratulangie. Saya masih ingat Ibu saya mengirim guntingan koran tentang peristiwa ini kepada saya sewaktu saya sedang di Jerman. Adalah dugaan saya bahwa persetujuan untuk menganugerahkan nama Jalan tersebut didasarkan atas hasil kajian yang dibuat oleh Dinas Museum dan Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditahun 1978 yang laporannya berjudul: “SEJARAH SINGKAT DR. G.S.S.J.RATULANGIE & BERDIRINYA YAYASAN PERGURUAN KRIS” yang akan saya sampaikan dalam waktu dekat.
Epilog
Pada saat jenazah Ayah saya akan ditempatkan diperistirahatan sementara di Tanah Abang maka diadakan Ibadah (1949). Tanpa termasuk dalam rencana/acara maka tiba2 satu barisan perwira2 KNIL memasuki tempat upacara dan berbaris dengan rapih mengesankan. Mereka lalu memmberikan salam hormat kepada jenazah sebagai ucapan terima kasih atas jasa almarhum membantu memberikan perhatian kepada keluarga2 mereka sewaktu mereka terpaksa berpisah karena harus menunaikan tugas kemiliteran mereka.

Pineleng, April 2009.