Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling (Reblogged)

Batara R. Hutagalung with Bert KoendersREBLOGGED dari GAGASAN NUSANTARA   tulisan Bpk.  Batara Hutagalung (http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2012/05/teror-westerling-di-republik-indonesia.html

Setelah kegagalan “kudeta” yang sangat memalukan itu, pemerintah Belanda memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang kabinet tanggal 6 Februari dipertimbangkan, untuk memindahkan pasukan RST ke Papua Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah lagi. Pada 15 Februari 1950 Menteri Götzen memberi persetujuannya kepada Hirschfeld untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan pada hari itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RST dibawa ke kapal Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang ke Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Disediakan tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di sebelah tenggara kota Breda. Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST tiba di tempat penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27 Maret dan 23 Mei 1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan pasukan RST bersama keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600 orang. Sekitar 400 orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar sekitar 200 orang pasukan RST, sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat dalam aksi Westerling, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan militer.

Jumlah tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil, dibandingkan dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling, yaitu lebih dari 300 orang.

Demikianlah akhir yang memalukan bagi pasukan elit Reciment Speciale Troepen (RST) yang merupakan gabungan baret merah (1e para compagnie) dan baret hijau (Korps Speciale Troepen) yang pernah menjadi kebanggaan Belanda, karena “berjasa” menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Namun bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceriteranya belum berhenti di sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda, baik sipil mau pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke Singapura, di mana dia dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Tionghoa. Maka dia kemudian menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di Jakarta.

Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia selalu berpindah-pindah tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs.

Pada 8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal van Langen, yang kini menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya. Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal Buurman van Vreeden, Hirschfeld dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraan adalah masalah penyelamatan Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan. Dipertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun sehari setelah itu, pada 9 Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Westerling.

Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen.

Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen dan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld, Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta –baik militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab.

Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar Indonesia dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst – MLD (Dinas Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W. Kist. Rencana ini disetujui oleh van Langen dan hari itu juga Westerling diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut dengan van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. Pada 18 Februari van Langen menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden.

Van der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling.

Kerja selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar gelap; mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi (tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek, lahir di Manila.

Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah “kudeta” yang gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok. Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga isinya adalah perhiasan. Pesawat Catalina hanya singgah sebentar di Tanjung Pinang dan kemudian melanjutkan penerbangan menuju Singapura. Mereka tiba di perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai Singapura pesawat mendarat di laut dan perahu karet diturunkan.

Dalam bukunya De Eenling, Westerling memaparkan, bahwa perahu karetnya ternyata bocor dan kemasukan air. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap ikan Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera menghubungi temanTionghoanya Chia Piet Kay, yang pernah membantu ketika membeli persenjataan untuk Pao An Tui. Dia segera membuat perencanaan untuk kembali ke Indonesia.

Namun pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat Chia Piet Kay, Westerling digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi. Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming, seorang wartawan dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan ke Eropa. Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita Perancis yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh militer Belanda dengan pesawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah mingguan Amerika, Life. Pemberitaan di media massa tentu sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil dan militer Belanda di Indonesia.

Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media massa tersebut, sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden dan Jenderal van Langen mula-mula menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda kepada Westerling untuk melarikan diri dari Indonesia ke Singapura. Keesokan harinya, tanggal 25 Februari Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan itu betul dan ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh van Vreeden, van Langen dan Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia.

Fockema segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol.

Pada 5 April 1950 Sultan Hamid II ditangkap atas tuduhan terlibat dalam “kudeta” Westerling bulan Januari 1950.

Pada 7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer terhadap 124 anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pada 12 Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang kena hukuman 6 bulan dan hanya Titaley diganjar 1 tahun 8 bulan. Tidak ada yang mengajukan banding. Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda terhadap tentara Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol Lembong, menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, tentara Jerman yang terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya dijatuhi hukuman yang sangat berat, dan bahkan para perwira yang memerintahkan pembunuhan, dijatuhi hukuman mati.

Sementara itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia. Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling.

Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan segera ditahan, namun –dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia. Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang mendirikan Stichting Door de Eeuwen Trouw – DDET (Yayasan Kesetiaan Abadi). Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di sana. Di negeri Belanda sendiri secara in absentia Westerling menjadi orang yang paling disanjung.

Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Puncak pelecehan Belanda terhadap bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober 1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia.

Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab:

“Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan.”

Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut.

Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis.

Dengan demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi Selatan tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM, juga “kudeta’ APRA pimpinan Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau pemberontakan terhadap satu negara yang berdaulat.

Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika.

Kemudian bagaimana dengan nasib KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)? Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang ingin masuk ke TNI harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian di tahun 70-an mencapai pangkat Jenderal Mayor TNI!

Westerling meninggal dengan tenang tahun 1987.

Kepada Bapak Batara Hutagalung saya sampaikan terima kasih.

Siapakah Bpk Batara Hutagalung ? https://www.blogger.com/profile/11228398991023101968

“Kudeta” Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) (Reblogged)

westerlingREBLOGGED dari GAGASAN NUSANTARA   tulisan Bpk.  Batara Hutagalung (http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2012/05/teror-westerling-di-republik-indonesia.html)

Setelah Persetujuan Renville, anggota pasukan KST (Korps Speciale Troepen) ditugaskan juga untuk melakukan patroli dan “pembersihan”, antara lain di Jawa Barat. Namun sama seperti di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan sewenang-wenang terhadap penduduk di Jawa Barat. Perbuatan ini telah menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) dari Belanda, yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda.

Pada 17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya, membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST yang dilakukan pada 13 dan 16 April 1948. Di dua tempat di daerah Tasikmalaya dan Ciamis, pasukan KST telah membantai 10 orang penduduk tanpa alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tergeletak di tengah jalan.

Pengaduan ini mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan khusus pimpinan Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang kemudian mencuat ke permukaan. Di samping pembunuhan sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di tubuh pasukan elit KST. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers menuding Westerling telah menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia Jerman yang terkenal kekejamannya semasa Hitler, dan hal-hal ini membuat gerah para petinggi tentara Belanda.

Walaupun Jenderal Spoor sendiri sangat menyukai Westerling, namun untuk menghindari pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan tuntutan ke pangadilan militer, Spoor memilih untuk menon-aktifkan Westerling. Pada 16 November 1948, setelah duasetengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciale Troepen (DST) kemudian KST (Korps Speciale Troepen), Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek. Setelah pemecatan atas dirinya, Westerling menikahi pacarnya dan menjadi pengusaha di Pacet (Puncak), Jawa Barat.

Namun ternyata Westerling tidak berpangku tangan dan menikmati kehidupan seorang sipil, melainkan aktif menjaga hubungan dengan bekas anak buahnya dan menjalin hubungan dengan kelompok Darul Islam di Jawa Barat. Secara diam-diam ia membangun basis kekuatan bersenjata akan digunakan untuk memukul Republik Indonesia, yang direalisasikannya pada 23 Januari 1950, dalam usaha yang dikenal sebagai “kudeta 23 Januari.”

Pada 23 Januari 1950, segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond “si Turki” Westerling, mantan komandan pasukan khusus KST (Korps Speciale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Ternyata aksi gerombolan ini -yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)- telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.

apra

Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan tentara KNIL dan yang desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.

Pada 25 Desember malam, sekitar pukul 20.00 dia menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor yang meninggal secara misterius (ada yang mengatakan, bahwa Spoor bunuh diri karena kecewa atas persetujuan Roem-Royen yang membidani Konferensi Meja Bundar). Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan dia (Westerling) melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumors, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran “penyerahan kedaulatan” pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut. Bahwa van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling adalah suatu kesalahan, karena kurang dari satu bulan kemudian terbukti, bahwa Westerling melaksanakan niat jahatnya yang membawa malapetaka baru bagi bangsa Indonesia terutama TNI.

Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.

Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Hal ini tentu merupakan suatu ironi, karena Hatta sendiri serta banyak pemimpin bangsa Indonesia pernah menjadi korban exorbitante rechten.

Sementara itu, pada 10 Januari 1950 Westerling mengunjung Sultan Hamid II dari Kalimantan, di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.

Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau, terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan “kudetanya.”

Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: “Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung.” Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa “compagnie Erik” yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.

Pukul 8.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya, dan pada pukul 9.00 Letkol Sadikin mendatangi Engles. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah melakukan desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

Di kota Bandung, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. Hari itu, 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga “serangan” ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan “kudeta” tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.

Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.

Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: “Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara.” Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh “de zwarte hand van Nederland” (tangan hitam dari Belanda).

Selanjutnya :

Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling

Kepada Bapak Batara Hutagalung saya sampaikan terima kasih.

Pembantaian di Galung Lombok (Reblogged)

REBLOGGED dari GAGASAN NUSANTARA   tulisan Bpk.  Batara Hutagalung (http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2012/05/teror-westerling-di-republik-indonesia.html}

Pada 1 Februari 1947 terjadi pembantaian terhadap penduduk sipil di desa Galung Lombok, yang termasuk paling kejam di dunia. Galung Lombok termasuk Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Letaknya sekitar 300 km di sebelah utara Makassar dan sekitar 8 km dari Majene, Ibukota Sulawesi Barat.

Letnan Vermeulen memimpin langsung pasukan DST ke Galung Lombok. Ribuan masyarakat dari desa-desa di sekitarnya, seperti Tinambung, Majene, Tande dan Renggeang digiring ke Galung Lombok untuk menyaksikan eksekusi terhadap sejumlah tahanan politik dan mereka yang dituduh sebagai ekstremis yang ditahan di Majene.

Di hamparan sebuah alun-alun mereka dipersaksikan sekitar 30 mayat yang terkapar dalam genangan Lumpur bersimbah darah yang masih segar. Mereka yang korban itu adalah pemimpin-pemimpin politik dari masyarakat Mandar yang dicap oleh pasukan Westerling sebagai ekstremis yang membangkang atau menentang kekuasaan pemerintah Belanda.

Sore hari, tiba-tiba ada laporan bahwa di Segeri Talolo, Majene, terjadi penghadangan terhadap rombongan pasukan Belanda, yang mengakibatkan tiga orang tentara Belanda tewas. Akibat laporan ini, Vermeulen sangat marah dan memerintahkan untuk memberondong secara membabi buta kerumunan manusia dengan senapan mesin otomatis. Korban berjatuhan saling bertindihan antara satu dengan yang lain. Sedangkan yang masih hidup, membenamkan tubuhnya dalam-dalam ke dalam kubangan darah saudara-saudaranya yang sudah tewas.

Dalam laporannya tahun 1969, sebagaimana tertera di De Exessennota, pemerintah Belanda menyatakan, bahwa korban tewas dalam pembantaian massal di Galung Lombok antara 350 – 400 orang.

De Exessennota, Galoeng-Galoeng_2.jpg

Cuplikan dari laporan pemerintah Belanda tahun 1969 di De Exessennota.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh. Pemerintah Belanda sendiri juga mengakui, bahwa pembantaian di desa Kulo dilakukan dengan semena-mena.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Demikianlah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond P.P. Westerling.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri.

Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger – VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional). Karena kuatir pers Belanda dan internasional akan mengendus pembantaian-pembantaian yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya, maka Pasukan DST segera ditarik kembali ke Jawa.

Dengan keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan Belanda –baik militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan baru muncul untuk pertama kali pada bulan Juli 1947.

Kamp DST kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL.

Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini Kapten.

Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat teror yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 (!) orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena dia memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook, untuk melancarkan aksi terornya yang dinamakan “contra-guerilla.” Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda!

Selanjutnya :

Kudeta” Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling

Kepada Bapak Batara Hutagalung saya sampaikan terima kasih.

Pembantaian di Sulawesi Selatan (Reblogged)

Pembantaian di Sulawesi Selatan

Reblogged from Gagasan Nusantara, Batara Hutagalung SH   (http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2012/05/teror-westerling-di-republik-indonesia.html)

Sementara hasil perundingan Linggajati tengah dalam proses ratifikasi (diratifikasi oleh kedua Negara pada 25 Maret 1947), tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian masal terhadap rakyat Indonesia di daerah-daerah yang mendukung Republik Indonesia di luar Jawa dan Sumatera.

Walau pun banyak pemimpin mereka ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan tentara Australia, tidak sanggup mengatasi gencarnya serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.

Oleh karena itu, pada 9 November 1946 Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Pada 15 November 1946, Letnan I Vermeulen memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang tentara dari Depot Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, Netherlands Eastern Forces Intelligent Service – NEFIS (Badan Intelijen Militer Belanda) telah mendirikan markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik serta para pendukung mereka.

Westerling sendiri baru tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger – VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Westerling menyusun suatu buku pedoman untuk Counter Insurgency.

 

Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati. Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Fase kedua dimulai, yaitu mencari “kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para “teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke excecuties, yaitu tembak mati di tempat, tanpa proses pengadilan, tuntutan dan pembelaan. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah “11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.”

Fase ketiga adalah ancaman kepada rakyat untuk tindakan di masa depan, penggantian Kepala desa serta pembentukan polisi desa yang harus melindungi desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya 44 penduduk desa.

Demikianlah “sweeping a la Westerling.” Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran kota Makassar. Hasilmya: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan intelijen mereka, Wolter Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris” dieksekusi.

Setelah daerah sekitar Makassar “dibersihkan”, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.

Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di kalangan penduduk berjumlah 257 orang.

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan Noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), Padakalawa (17.1.), satu desa tak dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru (25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa (28.1.).

Seorang saksi mata yang menyaksikan sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah Westerling dan kemudian menjadi korban pemerkosaan oleh seorang perwira Belanda adalah Sitti Hasanah Nu’mang (lihat: Nu’mang, Sitti Hasanah, dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta 1995, hlm 258 – 263). Berikut ini adalah cuplikan penuturannya:

“… Dengan tidak diduga-duga, serdadu NICA mulai mendatangi rumah, dan membawa ayah pergi. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil paman saya, Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran saya dibawa ke kantor MP (Polisi Militer). Di sini saya bertemu ayah, Puang Side dan banyak lagi teman-teman seperjuangan yang lain.

Dua minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, kami lalu dibawa ke penjara besar Pare-Pare. Kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan. Kira-kira sebulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan.

Pagi itu tanggal 4 Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep MP berhenti di depan penjara besar Pare-Pare. Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti beberapa militer yang lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap bersenjata sangkur terhunus, bahkan ada yang menyandang stengun. Mereka masuk penjara, kemudian memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum diadili. Lalu kami disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor. Sampai di depan kantor, kami disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian, kami diperintahkan lagi keluar menuju lapangan tenis. Begiru kami berhenti, kami dibentak disuruh berangkat menuju ke barat. Di lapangan tenis, para serdadu tersebut berdiri melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, saya tetap berdiri di tengah, dekat ayah. Saya pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama ditembak juga.

Tak lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang Belanda, seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana pendek dan pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling itu mendekati ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!!” Kemudian terdengar suara tembakan yang memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. ayah gugur ….. Satu per satu saudara saya roboh ke tanah. Selesai menembak, westerling melangkah di depan saya lalu menggertak kasar, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?”

“Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!!!” teriak saya geram…

…Saya diam termanggu-manggu, heran mengapa saya disisakan, tidak dibunuh bersama yang lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorong saya, saya disuruh naik jeep, kembali ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, saya masih sempat menoleh, melihat jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan bergelimpangan di tanah …

Hari itu saya bermalam di MP. Besoknya, saya dibawa lagi ke penjara besar Pare-Pare. setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya saya dipindahkan, dicampur dengan perempuan nakal. Di sini saya tinggal lima malam. Malam itu, kira-kira pukul 21.00 malam, kamar saya dibuka penjaga, seorang MP. “Bangun! Dipanggil Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Saya tergopoh-gopoh bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar Mayor de Bruin. Di situ ada dua orang tamunya, yang kemudian saya kenal sebagai van der Velaan dan seorang KNIL yang saya tidak tahu namanya. Mereka bertiga sedang ngobrol sambil menghadapi minuman keras di meja, membelakangi saya sambil menuang minuman di gelas. Entah minuman keras apa yang dituang, saya tidak lihat. Kemudian minuman itu disodorkannya kepada saya sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” saya dipaksa minum sambil pistolnya dipegang-pegang. Belum seberapa saya meminumnya, kepala saya langsung pusing. Saya melihat dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke luar ruang dan … saya pun tidak sadarkan diri

Kira-kira pukul 05.00 subuh, saya baru sadar. Saya langsung marah-marah mencaci maki Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh saja? Kurang ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan kepada saya?!” Subuh itu juga saya tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamar saya semula. Dalam kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya … Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu…”

Saksi mata dan juga korban lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A. Salam (lihat: Salam, Hj. Oemi Hani A., Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ‘45, hlm. 174 – 178), yang menuturkan pengalaman dan penderitaannya:

“… Setelah itu, saya dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi KNIL Majene. Jumlah tahanan yang ada bertambah menjadi delapan puluh orang, termasuk Ibu Depu, Siti Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang kesemuanya merupakan aktivis PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.

Saya masih meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m, ketika terjadi peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal 2 Februari 1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di lain-lain daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf Pabicara Baru, anggota Dewan Penasihat PRI, bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru.

Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

…Kami bersyukur bahwa kami luput dari pembunuhan kejam tersebut karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak terdapat dalam daftar ‘perampok’. … “

Selanjutnya :

Pembantaian di Galung Lombok

Kudeta” Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling

Kepada Bapak Batara Hutagalung saya sampaikan terima kasih.

 

 

WESTERLING Latar Belakang Sejarah (Reblogged)

REBLOGGED dari GAGASAN NUSANTARA   tulisan Bpk.  Batara Hutagalung (http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2012/05/teror-westerling-di-republik-indonesia.html}

Sebagaimana diketahui, bahwa suatu putusan terhadap satu kasus, dapat menjadi juris prudensi untuk kasus-kasus serupa. Kasus pembantaian massal yang dilakukan oleh tentara Belanda bukan hanya di Rawagede/Balongsari, melainkan di puluhan, bahkan mungkin ratusan tempat di Indonesia. Di Sulawesi Selatan saja mungkin terjadi di puluhan desa. Demikian juga di Sumatera, Jawa, Bali dll. Beberapa tempat yang cukup dikenal adalah pembantaian di desa Galung Lombok, Sulawesi barat, Gerbong Maut Bondowoso, Jembatan Air Mata Ibu di Payakumbuh, Pembantaian di Kranggan dekat Temanggung.

Pembantaian di Galung Lombok, Sulawesi Barat, yang dilakukan oleh anak buah Westerling pada 1 Februari 1947 termasuk peristiwa pembantaian yang paling sadis dan kejam. Westerling tidak hanya melakukan pembantaian di Sulawesi Selatan saja, melainkan setalah ditarik kembali ke Jawa, anak buahnya juga melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil, dan “kudeta”nya yang gagal pada 23 Januari 1950 telah menewaskan lebih dari 90 tentara Siliwangi di Bandung yang tidak bersenjata.

Latar Belakang Sejarah

Setelah Cultuurstelsel, Poenale Sanctie dan Exorbitante Rechten, Westerling adalah hal terburuk yang “dibawa” Belanda ke Indonesia. Bab mengenai Westerling termasuk lembaran paling hitam dalam sejarah Belanda di Indonesia, bahkan mungkin termasuk pembantaian massal terkejam di dunia, karena korbannya adalah ribuan penduduk sipil, non combatant.

Yang telah dilakukan oleh Westerling beserta anak buahnya bukan hanya kejahatan perang (war crime), melainkan juga kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity) dan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang sangat berat, seperti perkosaan, penyiksaan, dll. Pembantaian penduduk di desa-desa di Sulawesi Selatan (catatan: setelah dilakukan pemekaran provinsi, maka sebagian daerah sekarang termasuk Sulawesi Barat) dapat juga dikategorikan sebagai pembantaian etnis (genocide). Semua hal-hal ini terjadi dengan sepengetahuan dan bahkan dengan ditolerir oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Kejahatan yang dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya terjadi di masa agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Oleh karena itu, semua kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer tersebut, termasuk yang dilakukan oleh Westerling, masih dapat dituntut ke Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag. Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) telah membuktikan, bahwa kejahatan perang Belanda tidak hanya dapat dimajukan ke Mahkamah Kejahatan Internasional, melainkan juga ke pengadilan sipil di Belanda.

Belanda dan negara-negara Eropa yang menjadi korban keganasan tentara Jerman selama Perang Dunia II selalu menuntut, bahwa untuk pembantaian massal atau pun kejahatan atas kemanusiaan yang telah dilakukan oleh tentara Jerman, tidak ada kadaluarsanya. Di sini negara-negara Eropa tersebut ternyata memakai standar ganda, apabila menyangkut pelanggaran HAM yang mereka lakukan.

Ulah Westerling dan anak buahnya baik di Sulawesi Selatan, Jawa Barat mau pun dalam peristiwa “:kudeta” Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), hingga kini belum ada penyelesaiannya. Oleh karena itu perlu kiranya diungkap lebih rinci, hal-hal yang sehubungan dengan pembantaian di Sulawesi Selatan dan “kudeta APRA”, juga konspirasi pimpinan tertinggi Belanda, baik sipil mau pun militer untuk menyelamatkan Westerling dari penangkapan dan pengadilan di Indonesia, setelah gagalnya kudeta APRA tersebut.

Westerling, yang bagi sebagian besar rakyat Indonesia adalah seorang algojo kejam berdarah dingin, namun bagi sebagian orang Belanda dia adalah seorang pahlawan yang hendak “menyelamatkan” jajahan Belanda dari kolaborator Jepang dan elemen komunis.

westoorlog

Tahun 1999 di Belanda terbit satu buku dengan judul Westerling’s Oorlog (Perangnya Westerling) yang ditulis oleh J.A. de Moor. Boleh dikatakan, ini adalah buku yang sangat lengkap dan rinci mengenai sepak-terjang Westerling selama di Indonesia serta lika-liku pelariannya dari Indonesia setelah “kudetanya” yang gagal. Nampaknya ada hal-hal yang selama ini belum diketahui di Indonesia, terutama menyangkut penugasannya di Sulawesi Selatan dan latar belakang rencana “kudeta”, yang rupanya telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda, dan kemudian kerjasama tingkat tinggi Belanda meloloskan Westerling dari penangkapan pihak Republik. Buku ini penting sekali untuk diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Bahkan yang lebih menarik lagi adalah, ternyata Pangeran Bernard, suami Ratu Juliana juga terlibat dalam konspirasi kudeta APRAnyaWesterling, karena Bernard berambisi menjadi Raja Muda (Vice Roi) di Indonesia, seperti model Raja Muda Inggris di India.

Dalam Perang Dunia II, tentara Belanda di Eropa yang hancur “dilindas” tentara Jerman hanya dalam waktu 3 hari dan tentara India-Belanda, yang di Jawa tergabung dalam ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command) hanya dalam waktu tujuh hari dihancurkan oleh tentara ke XVI Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima tertinggi tentara Belanda di Netherlands Indië, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer, menandatangani dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat (unconditional surrender) di Pangkalan Udara (Lanud) Kalijati, dekat Subang, Jawa Barat, pada 9 Maret 1942.

Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, namun penandatanganan dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat baru dilakukan pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS Missoury, di Tokyo Bay, Jepang. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat kekosongan kekuasaan (vacuum of power), artinya tidak ada pemerintahan.

Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus 1945, Ir. Sukarno diangkat menjadi Presiden, dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Kemudian disusun kabinet RI pertama. Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara berdasarkan Konvensi Montevideo telah terpenuhi, yaitu:

  1. Adanya wilayah,
  2. Adanya penduduk yang permanen, dan
  3. Adanya pemerintahan.

Berdirinya Republik Indonesia bukanlah merupakan suatu pemberontakan terhadap kekuasaan apapun, karena memang tidak ada kekuasaan suatu Negara. Juga bukan suatu revolusi, karena tidak ada penguasa atau pemerintah yang digulingkan, dan periode antara tahun 1945 – 1949 bukanlah perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan kemerdekaan. Pernyataan kemerdekaan (declaration of independence) republic Indonesia berbeda dengan pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat yang dicetuskan oleh pemimpin Amerika pada 4 Juli 1776, yang merupakan pemberontakan terhadap Kerajaan Inggris, yang pada waktu itu masih berkuasa.

Berdasarkan azas uti possidetis juris (atau iuris), yaitu prinsip dalam hukum internasional untuk menentukan batas wilayah suatu Negara. Azas ini diadopsi dari hukum Romawi, yang menyatakan bahwa batas wilayah dan pemilikan lainnya dari penguasa lama, menjadi milik penguasa baru, maka wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas Netherlands Indië (India Belanda)!

Tentara Belanda masuk kembali ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggris dan
Australia, yang ditugaskan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu) untuk melucuti senjata tentara Jepang (disarmament of Japanese forces) dan membebaskan para interniran Eropa dari tahanan Jepang (Recovery of allied prisoners of war and internees – RAPWI), serta memulihkan ketertiban dan keamanan (maintain law and order). Lord Louis Mounbatten, Supreme Commander South East Asia menugaskan Letnan Jenderal Sir Philip Christison memimpin Allied Forces in the Netherlands-Indies –AFNEI (Tentara Sekutu di India Belanda).

Untuk melaksanakan tugasnya, tiga British-Indian Division dibantu oleh dua divisi tentara Asutralia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morsehead. Satu divisi tentara Inggris ditugaskan untuk Sumatera, dua divisi lainnya ditugaskan ke Jawa. Dua divisi tentara Australia ditugaskan ke Indonesia Timur.

Sementara pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera belum terbentuk dengan sempurna, Belanda berusaha membangun kembali kekuatan dan kekuasaannya di Sumatera. Untuk mengejar waktu, pada 27 Agustus 1945, Letnan C.A.M. Brondgeest dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin 11 orang pasukan payung yang diterjunkan di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Pada 6 September 1945 Brondgeest mulai merekrut semua orang mantan tentara KNIL yang berada di kota Medan dan sekitarnya. Dalam waktu singkat dia dapat mengumpulkan ratusan orang dan mereka direkrut menjadi polisi yang membantu Brondgeest.

Kemudian pada 14 September 1945, Letnan II (Cadangan) Raymond Paul Pierre Westerling dengan pesawat udara mendarat di Medan memimpin rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris Kapten Turkhaud dan Prajurit Sariwating asal Ambon. Westerling membawa seragam dan persenjataan untuk 175 orang. Mereka diperbantukan kepada Brondgeest.

Raymond Westerling lahir di Istambul, Turki, pada 31 Agustus 1919 sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou, yang berasal dari Yunani. Westerling, yang dijuluki “si Turki” karena lahir di Istambul, Turki, masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Dia mendapat pelatihan khusus dari tentara Inggris di Skotlandia. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolferhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai: “It’s hell on earth” (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain “unarmed combat”, “silent killing”, “death slide”, “how to fight and kill without firearms”, ”killing sentry” dsb.

Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima tertinggi Komando Asia Tenggara). Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.

Pada 15 Maret 1944 di London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere Opdrachten -BBO (Biro untuk Tugas Istimewa), kemudian Markas Besarnya berkedudukan di Brussel dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard. Pada 23 Oktober 1944, Westerling dipanggil untuk bertugas di BBO di Brussel, dan pada 1 Desember 1944 pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor. Tanggal 25 Juni 1945 dia masuk ke dinas KNIL dengan pangkat (reserve) tweede luitenant (Letnan II Cadangan) dan ditugaskan di Sri Lanka pada Anglo-Dutch Country Section yang di kalangan Belanda disebut Korps Insulinde (KI). Di Eropa, Jerman sudah menyerah dan kekalahan tentara Jepang hanya tinggal menunggu waktu saja. Di Australia dan Sri Lanka, Belanda melakukan persiapan besar-besaran untuk kembali ke Indonesia.

Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat mau pun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Republik. Segera setelah diangkat menjadi Panglima tertinggi Tentara Belanda di Hindia Belanda, Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.

Pada 3 Maret 1946, 60 orang serdadu Belanda pertama kali tiba di Indonesia dan langsung dibawa ke Bandung, di mana mereka memperoleh pelatihan dari seorang perwira Belanda mantan anggota Korps Insulinde. Setelah itu, realisasi untuk pembentukan pasukan parasutis berjalan dengan cepat. Pada 12 Maret 1946, Letnan KNIL Jhr. M.W.C. de Jonge, Letnan KNIL Sisselaar dan Letnan KNIL A.L. Cox (dari Angkatan Udara) ditugaskan ke Eropa untuk melakukan penelitian serta meminta bantuan dari unit parasutis Inggris dan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan pelatihan parasutis di Hindia Belanda.

Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek, dua perwira Belanda yang pernah bertugas di Korps Insulinde, dipanggil dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para. Pada 15 Maret 1946 secara resmi School voor Opleiding van Parachutisten – SOP (Sekolah Pelatihan Parasutis) didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan pertamanya. Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 untuk menduduki Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.

Agar supaya tidak dapat diketahui oleh pihak Republik, kamp pelatihan dipilih sangat jauh, yaitu di Papua Barat. Semula dipilih Biak, di mana terdapat bekas pangkalan udara tentara Amerika yang masih utuh. Kemudian pada bulan April tempat pelatihan dipindahkan ke Hollandia, juga di Papua Barat, yang arealnya dinilai lebih tepat untuk dijadikan kamp pelatihan.

Yang dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi tinggi 1,85 m dan berat badan tidak lebih dari 86 kg. Selain tentara yang berasal dari Belanda, orang Eropa dan Indo-Eropa juga pribumi yang menjadi tentara KNIL ikut dilatih di sini. Mereka berasal dari suku Ambon, Menado, Jawa, Sunda, Timor, Melayu, Toraja, Aceh dan beberapa orang Tionghoa. Pelatihan yang dimulai sejak bulan April 1946 sangat keras, sehingga banyak yang tidak lulus pelatihan tersebut. Sekitar 40% pribumi, 20% orang Eropa dan 15% orang Indo-Eropa dinyatakan tidak lulus menjalani pelatihan.

Pada 1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I (1e para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan C. Sisselaar, yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947, pasukan para tersebut dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir (sekarang bandara Hussein Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian pasukan ini berada tidak jauh dari kamp pelatihan tentara KNIL di Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan Desember 1946 di Inggris baru tiba pada bulan Oktober 1947.

Untuk Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Birma. Jenderal Mayor Charles Orde Wingate (1903 – 1944) yang legendaris membentuk pasukan khususnya yang sangat terkenal yaitu “The Chindits”, yang sanggup menerobos garis pertahanan musuh untuk kemudian beroperasi di belakang garis pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi Wingate”, yang juga dipergunakan oleh TNI selama agresi militer Belanda II.

Sejak kedatangannya di Indonesia pada bulan Desember 1945, Kapten KNIL W.J. Schneepens mengembangkan gagasan untuk membentuk suatu “speciale troepen” (pasukan khusus) dalam KNIL (Ayahnya, Lekol W.B.J.A. Scheepens adalah perwira Korps Marechaussee –marsose- yang bertugas di Aceh. Dia tewas pada tahun 1913 akibat tusukan rencong). Gagasan ini kemudian mendapat persetujuan pimpinannya. Pada 15 Juni 1946 dia mendirikan pusat pelatihan yang dinamakan Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus) yang ditempatkan langsung di bawah Directoraat Centrale Opleidingen – DCO (Direktorat Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal KNIL E. Engles. Direktorat ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk menangani pelatihan pasukan yang akan dibentuk di Hindia Belanda. Kamp dan pelatihan DST ditempatkan di Polonia, Jakarta Timur.

Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi Komandan pasukan khusus ini. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan, dan setelah “berhasil” menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.

Di kancah diplomasi, untuk perundingan selanjutnya Pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat senior lain, Lord Miles Lampson Killearn, menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya, tingkat kebangsawanannya naik. Sir Archibald Clark Kerr kemudian begelar Lord Inverchapel dan mendapat tugas di Washington.

Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang paling dibenci oleh Belanda, diganti oleh Letnan Jenderal Sir Montague (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral Stopford, komandan armada Inggris yang bersama Sir Thomas Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari India Belanda tahun 1811. Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia karena dia sangat tidak menyenangi situasi yang dihadapi, yang dinilainya penuh ketidakjujuran dan intrik, dan tidak cocok untuk seorang perwira dan gentleman. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der Post (lihat: Post, Sir Laurens van der, The Admiral’s Baby, John Murray, London 1996 hlm. 268):

I cannot imagine circumstances more lethal for a simple soldier than this mess of pottage you have in Indonesia.”

Laurens van der Post adalah seorang perwira tentara Inggris kelahiran Afrika Selatan, yang bertugas di Indonesia (India-Belanda) dan tahun 1942 – 1945 diinternir di kamp interniran selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada bulan September 1945, dia diangkat menjadi Gubernur Militer tentara Inggris untuk Jakarta (Batavia).

Stopford kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5 –penghancur dan pembantai Surabaya November 1945- yang menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th British Army Corps, dari Indonesia pada akhir bulan November 1946.

Gilbert MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul Jenderal Inggris kemudian diangkat menjadi The British Minister in Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia, dia membuat laporan kepada Pemerintah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa perilaku Belanda dan militernya yang brutal terhadap rakyat Indonesia telah membuat syok serdadu Inggris. Mengenai laporan Mackereth, van der Post menulis:

“… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at the end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the Dutch and their soldiery towards the Indonesians had schocked the ordinary British soldiers…”

Sayang MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut pada awal melainkan di akhir masa tugasnya di Indonesia, sehingga kebiadaban tentara Belanda serta antek-anteknya terhadap rakyat Indonesia tidak diketahui di Inggris. Selain itu MacKereth juga tidak menyampaikan, kekejaman tentara Inggris terhadap rakyat Indonesia, terutama di Surabaya pada bulan November 1945.

Sementara itu, dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morshead “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di wilayah Indonesia Timur, dan setelah wilayah tersebut “bersih dan aman”, diserahkan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA), sesuai persetujuan CAA (Civil Affairs Agreement) yang ditandatangani di Chequers dekat London, pada 24 Agustus 1945.

Sebenarnya persetujuan tersebut antara Inggris dan Belanda, di mana Inggris membantu Belanda “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan setelah kekuatan bersenjata RI dihancurkan, maka wilayah tersebut diserahkan kepada NICA. Namun karena Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South-East Asia Command tidak mempunyai cukup pasukan, hanya 3 British-Indian Divisions, maka tentara Inggris dibantu dua Divisi Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morsehead -yang karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless“, tokoh kejam dalam cerita fiksi Flash Gordon- yang sebelumnya termasuk Komando Pasifik Baratdaya (South-West Pacific Area Command) pimpinan Letnan Jenderal Douglas MacArthur (Hutagalung-2001, hlm. 164 – 165). Hal ini jelas penyalahgunaan tugas dari Allied Forces (tentara Sekutu).

Setelah menganggap bahwa Indonesia Timur telah “bersih” dan aman, maka pada 15 Juli 1946 tentara Australia “menyerahkan” wilayah Indonesia Timur kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA). Kemudian van Mook segera memanggil orang-orang Indonesia dari Indonesia Timur pendukung Belanda untuk mengadakan pertemuan di Malino, dekat Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 16-22 Juli 1946 Belanda menggelar yang dinamakan Konferensi Malino untuk mendirikan “Negara Indonesia Timur”, yang dikukuhkan dalam konferensi di Denpasar, Desember 1946.

Inggris yang kemudian diwakili oleh Lord Killearn, memfasilitasi kembali perundingan lanjutan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda yang dimulai pada 7 Oktober 1946. (lihat: Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta 1962, hlm. 493). Delegasi Republik tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dan delegasi Belanda kini dinamakan Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Profesor Willem Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Tanggal 14 Oktober diumumkan berlakunya gencatan senjata. Hal ini sangat diinginkan oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik seluruh tentaranya dari medan pertempuran melawan Republik, serta memulangkan para prajurit yang telah jenuh dan lelah dengan perang -sejak tahun 1939, sejak pecahnya Perang Dunia II di Eropa- kembali ke negaranya.

Pada 11 November 1946 tempat perundingan dipindahkan ke Linggajati, dekat Cirebon, sehingga hasil perundingan tersebut kemudian dinamakan Persetujuan Linggajati. Butir yang terpenting bagi Indonesia tertuang dalam pasal 1, yaitu:

“Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda, dengan berangsur-angsur dan dengan kerjasama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik.”

Berikut   :

Pembantaian di Sulawesi Selatan

Pembantaian di Galung Lombok

Kudeta” Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling

Kepada Bapak Batara Hutagalung saya sampaikan terima kasih.

Aksi Perlawanan Siswa-Siswa SMP Nasional Makassar (1946)

Aksi Perlawanan Siswa-Siswa SMP Nasional Makassar (1946) *)

*) Editor: REBLOGGED, Source is at the moment not yet available  (13/01/2016)

Willem Yzereef, pada bukunya, De Zuid-Celebes Affaire menulis:

“In de afdeling Makassar groeide de anti-Nederlandse beweging zodanig dat de stad Makassar in Desember (1946) ingesloten dreigde te raken. Er was vrijwel geen contact meer met de buiten wereld. In de onder afdelingen Takalar en Djeneponto, aan de zuid kust, kreeg het na September op grote schaal steun van de bevolking. De communicatie lijnen van de officiale instanties werden uit geschakeld, wegen geblokkeerd door omgekapte bomen, telefoon kabels doorgesneden. Bruggen werden opgeblazen of in brand gestoken. In November werden de onderafdelingen Takalar en Djeneponto beschouwed in de handen van de “terroristen” te zijn. De Nederlandse positie was in Dezember 1946 voor de komst van het DST (Depot Speciale Troepen), hopeloos.”

Perlawanan secara besar-besaran tidak berlanjut karena sebagian besar dari pimpinan senior yang berpengalaman meninggalkan Sulawesi Selatan pergi ke Jawa. Sementara yang lainnya, termasuk pimpinan pemerintahan Sulawesi Selatan, Gubernur DR Ratoe Langie cs, dan pejabat administrasi telah ditangkap. Yang tinggal dan tetap melanjutkan perjuangan pada umumnya adalah para pemuda dan pelajar bersemangat tinggi dan serba emosional sekalipun kurang berpengalaman.

Dengan dilandasi motivasi nasionalisme yang diperoleh para pelajar SMP Nasional dari guru-guru yang umumnya terdiri dari tokoh-tokoh pergerakan perlawanan tidak surut. Serangan sporadis serba dadakan dengan cara ‘hit and run’ terhadap pasukan Sekutu maupun Belanda sering dilakukan hingga merekapun meraih dan mengumpulkan senjata. Setelah menyusun kekuatan, mereka menyerang kota Makassar dari kampung Tidung yang menjadi salah satu basis. Sasaran penyerbuan adalah posisi-posisi Belanda di Limbung, Monco Bolang dan Paciro.

Taktik ini berhasil dan dalam aksi penyerangan ini merebut senjata-senjata milik Belanda untuk digunakan bagi aksi perlawanan. Setelah menduduki Paciro, para pemuda/pelajar membentuk pasukan khusus yang mobil dengan sebutan Harimau Indonesia, yang intinya terdiri dari para pelajar SMP Nasional pimpinan Muhammad Syah, didampingi Wolter Mongisidi sebagai Wakil dan Maulwi Saelan sebagai kepala Staf. Yang juga menarik dari pasukan ini adalah satuan Laskar Wanita dan Palang Merah pimpinan Emmy Saelan dengan wakil, Sri Mulyati.

Pasukan Harimau Indonesia beroperasi di wilayah kota Makassar dan sekitarnya terbagi dalam unit-unit kecil antara 3-4 orang. Mereka ini sangat mobil dan selalu bergerak cepat dan berpindah-pindah tempat melalui pangkalan/basis masing-masing, dan selalu berkoordinasi dan saling menukar informasi. Wolter Monginsidi berperan sebagai pimpinan operasional untuk Makassar kota dan sekitarnya. Bersama anak buahnya ia beraksi siang dan malam di tengah kota. Sasaran utama melucuti senjata-senjata polisi Belanda.

wolter01

Pernah dalam suatu peristiwa di Klapperlaan (kini Jl Wolter Mongisidi), Wolter bersama Maramis, Abdullah Hadade dan Wim Supit, dengan memakai seragam KNIL dari tentara Belanda yang berhasil di lucuti. Dengan seragam itu, Wolter menghentikan sebuah jip militer yang ditumpangi seorang Kapten KL. Ketika jip itu berhenti, sambil menodong senjata dengan serentak Wolter berkata: “Ik ben Wolter.” Ketika disuruh turun, muka sang kapten pucat pasi dan menuruti perintah Wolter. Selain melucuti senjata, sang perwira harus membuka baju hingga tinggal celana dalam dan jip dirampas dan ditinggal di tepi jalan. Wolter segera memakai baju seragam perwira itu lengkap dengan tanda pangkat. Dengan jip hasil rampasan dan dikemudikan oleh Maramis, dengan Wolter di depan dan senjata-senjata dibawah tempat duduk. Sedangkan Abdullah Hadade duduk dibelakang menyerupai tahanan yang ditangkap dengan tangan terikat. Jip menuju KIS Kampament (Markas KNIL).

wolter05b
Saya selalu tersenyum melihat foto ini karena lengan baju kiri memperlihatkan bahwa orang Belandanya mempunyai fisik yang jauh lebih besar dari Wolter ……Pemuda yang cerdas, banyak idee dan humor (Editor: Lani Ratulangi).

Melihat seorang kapten hendak masuk kompleks, penjaga KNIL di pos jaga langsung memberi hormat, dan sang kapten (Wolter Monginsidi) bersama dengan jip masuk dengan leluasa.

Jip berputar dan Wolter bersama Maramis dan Hadade sambil memberondong tembakan mengelilingi Kampement hingga menimbulkan kepanikan penghuni. Setelah itu, dengan kecepatan tinggi, jip kabur ke pinggiran kota, dan ditinggal ditepi jalan SS.
Merekapun masuk kampung menuju Tidung. Peristiwa ini menjadi buah bibir penduduk disekitar yang mengagumi keberanian Wolter cs. Makassar menjadi tidak aman baik bagi militer maupun sipil Belanda. Laskar giat melakukan aksi di Makassar dengan pelemparan granat ataupun rentetan tembakan terhadap kamp-kamp militer dan rumah-rumah pembesar Belanda. Juga melakukan perang psikologis dengan penyebaran pamflet diberbagai pelosok kota. Makassar dikucilkan, jalan-jalan raya di blokir dengan penebangan pohon-pohon yang melintang di jalan-jalan yang dibantu sepenuhnya oleh masyarakat luas. Semua jaringan komunikasi militer di Makassar terputus karena kabel-kabel telepon sudah dipotong oleh laskar Harimau Indonesia yang sebagian besar adalah pelajar-pelajar SMP Nasional. Lagi pula sebagian besar dari daerah-daerah di Sulawesi Selatan telah dikuasai sepenuhnya oleh para gerilyawan Republik, seperti di Madjene, Polewali, Polombangkeng, Goa, Bone, Kolaka, Makale, Pinrang, Enrekang dan Pangkajene.

Begitu paniknya orang-orang Belanda, hingga mereka bersama semua keluarga harus naik kapal di malam hari untuk istirahat dan baru turun ke kota di pagi hari. Keadaanpun menjadi tambah runyam ketika pasukan Sekutu menarik semua pasukannya dari Indonesia pada 30 November 1946, termasuk pasukan Australia di Makassar dan Indonesia Timur. Sejak itupun kekuasaan beralih kepada pihak Belanda, tetapi tidak menyenangkan karena aksi para laskar Harimau Indonesia yang tiada henti-hentinya. Wolter sebagai Komandan Operasi III daerah kota Makassar dan sekitarnya, mengobrak-abrik kekuatan militer Belanda di kota. Banyak Laskar Harimau Indonesia tidak dikenali oleh mata-mata Belanda, dan berkeliaran dimana-mana dengan menyamar memakai baju seragam KNIL dari hasil rampasan lengkap dengan seragam, pangkat dan senjata, dan tiba-tiba menyerang pos-pos militer Belanda. Tidak berfungsinya pemerintahan Republik di Sulawesi Selatan akibat penangkapan Belanda tidak memperbaiki keadaan. Bahkan merugikan Sekutu pimpinan Brigadir Jendral Chilton karena terlalu memberi peluang Belanda untuk mengembalikan hegemoni di Indonesia.

Posisi Belanda juga tidak menguntungkan, karena dengan aksi penangkapan yang dilakukan terhadap para pemuka Republik, justeru di hadapkan pada militansi pelajar dan pemuda yang tidak menenteramkan posisi Belanda di Sulawesi Selatan. Walau begitu aksi perlawanan Laskar Harimau Indonesia tak dapat memenangkan pertarungan, karena sebagian besar pemuka-pemuka laskar berada di Jawa. Dilain pihak laskar tidak terorganisasi rapi mengimbangi militer Belanda, yang lebih baik dalam sistem pertempuran maupun persenjataan. Lagi pula sebagian besar dari pasukan khusus DST terlatih di Amerika-Serikat.

Kedatangan Westerling di Sulawesi Selatan

Pada 11 Desember 1946, pemerintahan administrasi Belanda, Binnenlands Bestuur (BB) memberlakukan Negara Dalam Keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg, SOB). Untuk mengatasi keadaan di Sulawesi Selatan, pihak Belanda mendatangkan bantuan dari Divisi 7 Desember KL langsung dari negeri Belanda dan satu unit Dienst Speciale Troepen (DST, Pasukan Khusus Baret Merah) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling guna mengamankan Makassar dan sekaligus memadamkan aksi perjuangan para “ekstrimis.” Dalam konsepnya, Westerling menerapkan caranya yakni: “Apabila kita hendak membunuh seekor tikus yang membahayakan rumah, yang paling mudah ialah, kita harus membakar rumah tersebut.
Jadinya, apabila kita hendak menangkap seorang exktrimis yang bersembunyi dalam masyarakat, jalan yang paling ampuh adalah membunuh semua orang di sekitar tempat itu.”

Cara ini diterapkan oleh Westerling untuk menciptakan suasana shock therapy hingga terjadi ketakutan psikologis (angst psychose) pada masyarakat untuk tidak membantu para “ekstrimis.” Operasi pembantaian yang dilakukan Westerling dengan diberlakukannya Unsang-Undang SOB antara 10 Desember 1946 hingga 5 Februari telah menghilangkan ribuan nyawa pejuang dan gerakan bawah tanah PNI dan pro-Republik di Sulawesi Selatan.
Operasi pembantaian Westerling dilakukan dalam beberapa tahap:
11-16 Desember 1946, aksi pembantaian di Makassar dan sekitarnya.
17-16 Desember 1946, operasi di Gowa. Takalar, Jeneponto, Polombangkeng dan Binamu.
2-16 Januari 1947, operasi di Bonthain, Gantaran, Bulukumba dan Sinjai.
17 Januari-5 Maret 1947 operasi di Maros, Pangkajene, Sigeri, Tanete, Barru, Parepare, Polewali, Mandar, Sidenreng dan Rappang.
Aksi pembantaian yang dilakukan Westerling dengan pasukan DST menggema hingga di dunia internasional, dan agar tidak terpojok, pihak Belanda menarik mundur pasukan Westerling pada 4 Maret 1947.

Hal ini terjadi ketika wartawan A Karim DP melaporkan peristiwa kekejaman Westerling yang dimuat pada harian Berita Indonesia. Berita ini menggemparkan dan menjadi ramai. Padahal Belanda berusaha menyangkal dan membreidel harian yang memberitakan peristiwa tersebut. Di Yogyakarta, Soekarno bertanya kepada Kahar Muzakar mengenai jumlah korban pembantaian yang dilakukan pasukan Westerling di Makassar yang di jawab singkat oleh Kahar: “40.000 yang tewas.”

Proses Pembentukan Divisi Hasanuddin

Aksi pembantaian yang dilakukan Kaptem Westerling dengan pasukan khusus DST dan situasi di Sulawesi diikuti oleh Soekarno-Hatta dan para pimpinan TRI di Yogyakarta. Untuk itu TRI membentuk pasukan ekspedisi Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) dikirim dari Jawa secara bergelombang di akhir 1946 hingga awal 1947. Rombongan ini mendarat dan berada di daerah operasi Laskar Harimau Indonesia. Kedatangan ekspedisi TRIPS, selain memperkuat dan mengkoordinasi laskar laskar perjuangan, juga membentuk dan membina satuan-satuan untuk menjadi Divisi Tentara Republik Indonesia (TRI).

TRIPS gelombang pertama, masing-masing dipimpin Kapten Muhammadong, Kapten Mohammad Jusuf, Lettu A Latif, Lettu M Said dan Pelda Murtala. Rombongan berikut dipimpin Kapten Andi Sarifin dan Lettu Andi Sapada. Dua hari kemudian tiba rombongan Kapten Andi Mattalatta. Disusul kemudian dengan pendaratan rombongan Kapten Saleh Lahade dan Lettu Andi Oddang.
Pendaratan gelombang pertama TRIPS terjadi kontak senjata oleh hadangan pasukan KNIL. Pertempuran terjadi di daerah Suppa, yang ketika itu pihak TRIPS hanya berkekuatan satu peleton, sedangkan yang dihadapi satu kompi KNIL dengan senjata serba lengkap hinggga tidak seimbang. Akibatnya, banyak dari personal TRIPS gugur, terutama dalam pertempuran di Muntala.

Sejak itupun pendaratan dilakukan ditempat-tempat yang di rahasiakan yang aman dan tidak diketahui pasukan KNIL. Umumnya rombongan ekspedisi dari Jawa memusatkan kekuatan gerilya di Paccekke, di atas Parepare. Ditempat ini terjadi pertemuan bagi pembentukan Tentara Republik Indonesia Sulawesi, sesuai instruksi Panglima Besar Jendral Sudirman dalam surat perintahnya yang dibawa Andi Mattalatta.
Proses pembentukannya memerlukan sekitar satu bulan untuk menghadirkan para pimpinan berbagai badan laskar perjuangan di Sulawesi Selatan.
Konferensi Paccekke berlangsung pada 20-22 Januari 1947 yang dihadiri antara lain oleh:
-Andi Selle Mattola dan Muhammad Taib, mewakili Suppa
-Hamid Aki dan Hussen, mewakili Masseurengpulu/Enrekang
-Rahmansyah dan M A Latif mewakili Ganggawa
-Andi Domeng dan Andi Cabambang mewakili Soppeng
-Andi Parengrengi mewakili Mandar
-Andi Mattalatta, Saleh Lahade, Andi Sapada, Andi Oddang sebagai
eksponen TRI Persiapan Sulawesi
-Muhammad Syah dan Maulwi Saelan mewakili Harimau Indonesia dari
Makassar.
Pimpinan laskar dari Masamba, Malili, Palopo, Polombangkeng tidak bisa hadir karena ketatnya patroli pasukan Belanda, sedangkan Andi Mayulai baru tiba setelah konferensi selesai. Pasukan yang dikerahkan di Pacekke sekitar 700 personal dengan persenjataan, setengah dari kekuatan terdiri dari senjata ringan dan senjata otomatis. Mereka ini bertugas melakukan pengamanan di sekitar konferensi yang terbagi dalam tiga lapis.Konferensi itu memutuskan:

Membentuk Divisi TRI Sulawesi Selatan dengan nama Divisi Hasanuddin, terdiri dari 3 resimen, masing-masing membawahi daerah pertahanan Makassar dan sekitarnya, Parepare dan sekitarnya, Palopo dan sekitarnya. Susunan Staf komando Divisi:
Panglima (pelaksana) : Mayor Andi Mattalatta
Kepala Staf : Mayor Saleh Lahade
Seksi I : Kapten Muhammad Syah
Seksi II : Kapten Maulwi Saelan
Seksi III : Kapten Andi Sapada
Seksi IV : Kapten Andi Oddang
Konderensi Pacekke juga membentuk bagian operasi dan merencanakan serangan umum pada 2 Februari 1947, untuk membangkitkan kembali semangat juang rakyat sebelum kedatangan Westerling. Tetapi operasi ini gagal, karena yang dihadapi adalah pasukan khusus DST pimpinan Kapten Westerling yang sangat terlatih dan professional. Banyak diantara mereka ini di didik di AS dan Inggris sebelum diberangkatkan ke Indonesia. Operasi gabungan KL/KNIL pimpinan Westerling dengan mobilitas tinggi dan terus menerus terhadap lima afdeling di Sulawesi Selatan, ditambah dengan blokade total, dan semua orang yang dicurigai ditangkap untuk kemudian ditembak mati, membuat Staf Komando Hasanudin harus memperhitungkan dan perlu melakukan strategi.

Untuk itu Staf Divisi melakukan hijrah ke Jawa guna menyusun kekuatan baru. Atas dasar pertimbangan perjuangan jangka panjang, sebagian pimpinan teras Divisi Hasanuddin hijrah ke Jawa untuk melakukan konsolidasi dan sebagian lagi meneruskan perlawanan dengan taktik perang gerilya. Umumnya mereka yang hijrah, berlayar naik perahu-perahu pinisi yang bergerak terutama pada malam hari.

Editor : Silahkan baca juga “Latar belakang sejarah ……”

Foto:

westerling

Kapten Raymond Westerling didatangkan ke Makassar dengan pasukan khusus hingga terjadi aksi pembantaian di Makassar.

wolterx

Taktik bumi-hangus dilakukan pasukan Westerling di luar kota Makassar.

*) Editor: Source is at the moment not yet available  (13/01/2016) Aksi Perlawanan Siswa-Siswa SMP Nasional Makassar (1946)

Ceramah KONFLIK HORIZONTAL (2002)

Kakak saya, Emilia Pangalila-Ratulangi PhD yang kini berumur 92 tahun, sekalipun ia sudah bertahun2 berdomisili di negeri Belanda, tetap memperhatikan keadaan ditanah airnya, Sewaktu berapa dekade yang lalu banyak terjadi konflik2 yang bersifat horizontal, beliau selaku seorang Neuroloog/Psychiater mempelajari fenomena ini dan menyusun kertas kerja ini. Ditahun 2002 beliau mempresentasikannya di Manado. (untuk lebih mengenal pribadi beliau silahkan klik disini )

Topsy-turvey Topics

Ceramah KONFLIK HORIZONTAL (2002)

Emilia Pangalila-Ratulangi PhD

E.A. Pangalila-Ratulangie PhD E.A. Pangalila-Ratulangie PhD

Yayasan Indonesia di Pasifik dibulan Agustus 2002 memberikan satu kesempatan bagi Emilia Pangalila-Ratulangi PhD. untuk menyampaikan ceramah tentang KONFLIK HORIZONTAL dengan mengambil judul: “Saat Musuh Bertemu”. Adalah sangat menarik bahwa dalam uraiannya beliau berawal dengan menunjuk kepada filsafah  “Si Tou Timou Tumou Tou” sebagai dasar dalam upaya meredakan perbedaan pendapat yang merupakan penyebab sesuatu konflik horizontal.

seminar2sDisamping itu ada sentuhan kepada gagasan “Desa Perdamaian” di Sulawesi Utara. Kini sekitar 5 tahun kemudian keadaan dunia sedemikian rupa sehingga gagasan ini sangat bagus untuk ditinjau ulang mengingat SULUT kiranya mugkin mendapat kesempatan untuk membantu menciptakan dunia yang damai.

seminar1s

Dibawah ini saya sajikan kopyan dari naskah yang dibacanya pada tanggal 1 Agustus 2002 di Ruang Huyula di kantor Gubernur SULUT, manado, dengan dihadiri oleh sekitar 150 orang pendengar yang kebanyakan terdiri dari kaum terpelajar di Manado.

SAAT MUSUH BERTEMU :

IDENTITAS KELOMPOK…

View original post 3,504 more words

Makna Pemikiran Sam Ratulangi untuk Masa Mendatang : Menyoroti Aspek Ekonomi, Ir. Adwin Ratulangi Ichwan

Gerbang dan jalan masuk ke Situs
Gerbang dan jalan masuk ke Situs Serui, Papua

Satu tulisan Ir. Adwin Ratulangi Ichwan di Sarasehan Keluarga di Pineleng, (SULUT) ditahun 1999 saya reblog agar dapat memperoleh perhatian pemerhati……..

Lanirat's minimalist blog

Makna Pemikiran Sam Ratulangi untuk Masa Mendatang : Menyoroti Aspek Ekonomi

Oleh: Ir. Adwin Ratulangi Ichwan

I. PENDAHULUAN

Dr.Sam Ratulangi dalam masa pra kemerdekaan Republik Indonesia selain sebagai politikus telah banyak menyumbangkan pemikiran mengenai aspek ekonomi yang menggambarkan posisi Indonesia dalam perokonomian dunia.

Pemikiran beliau sebagian besar dituangkan didalam bukunya Indonesia di Pasifik (1937). Kemudian Dr.Sam Ratulangi menerbitkan majalah politik mingguan Nationale Commentaren dari Tahun 1938 sampai dengan Tahun 1942.

Sebelumnya sejak tahun 1934 di Sam Ratulangi telah menyampaikan pendapat tentang posisi ekonomi dan Industri Indonesia, baik dalam wawancara maupun pidato-pidatonya didepan Volksraad (Dewan Rakyat) Dalam beberapa uraian penjelasannya tercakup pula masalah penanaman modal asing di Indonesia serta pentingnya membangun Indonesia dengan kekuatan sendiri.

Dalam penyampaian pemikirannya DR. Sam Ratulangi telah memasukkan pula faktor-faktor perbedaan perencanaan yang dibutuhkan untuk membangun daerah kepulauan Indonesia mengingat bahwa setiap daerah memiliki alam, tingkat penghidupan dan kebudayaan sendiri yang unik.

Dalam masa awal pemerintahan…

View original post 1,311 more words

Takdir Geopolitik Indonesia di Tengah Pertarungan Global AS-Cina di Asia Pasifik, oleh Adwin Ichwan RATULANGIE

 INDONESIA di PASIFIK (II)
Adwin Ichwan RATULANGIE
Takdir Geopolitik Indonesia di Tengah Pertarungan Global AS-Cina di Asia Pasifik
Sebuah Pendahuluan
Kita memang belum tentu bersepakat bahwa persaingan global Amerika Serikat (AS) versus Cina di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, akan mengarah pada konflik bersenjata sebagaimana diprediksi oleh Dr Samuel Huntington pada dekade 1990-an. Namun ada satu tren global yang saat ini tak terbantahkan: Persaingan global antar negara-negara adidaya, yaitu antara AS versus Cina-Rusia, telah bergeser dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, ke kawasan Asia Pasifik. Artinya, Asia Pasifik akan menjadi “Medan Perang” baru berbaga kepentingan negara-negara adidaya. Sehingga Indonesia, otomatis juga akan menjadi “Sasaran Arena Pertarungan” berbagai negara-negara adidaya.
Karena itu, sudah seharusnya para “Pemangku Kepentingan” Kebijakan Luar Negeri kita mulai mempertimbangkan kembali nilai strategis Indonesia secara geopolitik, seraya menjadikannya sebagai landasan penyusunan kebijakan-kebijakan strategis terkait politik luar negeri dan perekonomian nasional. Sehingga bisa memainkan peran aktif dan aktor yang sadar geopolitik, dalam mengantisipasi terjadinya pergeseran konsentrasi pertarungan global dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah ke Asia Pasifik.
Andaikan kita menyimak dan menyelami pandangan dan analisis para founding fathers kita, Bung Karno dan Dr Sam Ratulangie, tren global yang saat ini tengah berlangsung, semestinya tidak mengagetkan kita lagi. Pada 1930-an, Bung Karno sudah mengingatkan betapa strategisnya kawasan Asia Pasifik di kelak kemudian hari:
“Bahwa Asia-Pasifik akan jadi pusat-nya dunia, perang lautan teduh adalah babak pembuka Kemerdekaan Asia Raya. Kelak Eropa hanya jadi benua tua yang sakit-sakitan sementara Asia Pasifik akan tumbuh bak gadis molek yang menghantui setiap pikiran ‘lelaki.’
Melalui sekelumit ungkapan ini, jelaslah Sukarno sudah meletakkan pandangan geopolitiknya yang amat menjangkau masa depan. Terbukti sekarang Asia Pasifik jadi rebutan antara Amerika Serikat dan Cina, dan perang beneran kemungkinan akan meletus karena Cina sudah memperkuat armadanya di laut Nanyang (Laut Selatan Cina) sementara Amerika Serikat sudah membuka armada siap tempur di Darwin Australia.
Dr Sam Ratulangie, pada 1936 semakin memperkuat prediksi Bung Karno, melalui buku karyanya bertajuk: Indonesia di Pasifik. Analisa Masalah-Masalah Pokok Asia Pasifik (1938). Melalui buku yang beliau tulis ketika berada dalam tahanan pemerintahan kolonial Belanda di Sukamiskin, Bandung, memberi gambaran yang lebih rinci betapa strategisnya kawasan Asia Pasifik di masa depan, sekaligus peran dan kedudukan Indonesia di tengah pertarungan antar berbagai kepentingan strategis negara-negara adidaya di kawasan ini.
861589157_a5f3e5e307_o
Sam Ratulangie menulis antara lain:
“Pada saat ini diketahui oleh hampir setiap orang, bahwa di Pasifik telah terbentuk sebuah kawasan politik tersendiri. Kawasan itu mengesampingkan, malah melebihi arti dunia lama Samudra Atlantik. …”
Bayangkan. Pada 1936 Ratulangie sudah bisa memprediksi bahwa pergeseran konsentrasi kekuatan di Asia Pasifik sudah terjadi sejak Perang Dunia I, ketika PD I telah mengakibatkan perpindahan modal secara hebat. Amerika dan Jepang bukan lagi negara yang untuk keperluan uang di bidang pemerintahan maupun swasta harus mendatangi pasar uang Eropa.
Selama dan karena PD I, keduanya telah menjadi negara kreditur berkat perkembangan industrinya. Inilah (sekarang) Kawasan Pasifik. Landasan kawasan ini adalah New York – Tokyo yang dihubungkan ke Nanking dan Kanton, dan meliputi seluruh Lautan Teduh yang sama sekali tak teduh-tenang lagi. Tetapi lautan ini senantiasa membuncah gemuruh karena datang dan perginya kapal-kapal niaga semua bangsa (negara) maritim, dan latihan perang armada AL Amerika, Inggris, Jepang, dan Perancis yang simpang-siur mengitari sudut barat-daya Pasifik.
Sam Ratulangie membagi kekuasaan di Asia Pasifik ke dalam empat perserangkaian: barat, timur, utara, dan selatan yang memiliki kepentingan-kepentingan di dunia.
Dari selatan berdesakan tiga kepentingan masuk ke Pasifik: kepentingan Inggris, Perancis, dan Belanda. Gerbang masuk secara geografis adalah Indonesia, secara nonfisik adalah sistem kolonial. Perserangkaian Timur terbentuk oleh kepentingan Amerika. Kepentingan modal Amerika ditanam di Asia Timur.
Di pihak lain, penetrasi Asia—oleh orang-orang Jepang dan Tiongkok—menjadi masalah yang penting bagi Amerika Utara dan Selatan. Perserangkaian Barat mencakup Jepang, Tiongkok, Siam, Mancukuo, dan kelak Filipina; di mana Jepang menjadi pemegang peranan. Perserangkaian ini sekaligus merupakan obyek dan subyek, terlibat secara aktif dan pasif dalam masalah Pasifik. Berpaling ke perserangkaian sebelah utara, Tsar Rusia menghendaki sebuah pelabuhan yang bebas es di Lautan Teduh dan mendesak ke selatan.
Pasifik telah menciptakan sebuah kawasan ekonomi-politik tersendiri, dengan masalahnya sendiri, yang basis dasarnya adalah Amerika dan Jepang. Bagi Asia Pasifik secara keseluruhan dapatlah disusun bagan bahwa utara bersifat industri dan secara internasional aktif, selatan bersifat pertanian dan secara internasional pasif.
Sisi menarik dari Buku Ratulangie, beliau berpandangan bahwa Indonesia bagi Pasifik dan bagi ekonomi dunia pada umumnya mengandung tiga hal yang bersifat pasif:
Pertama, sebagai negeri konsumen.
Kedua, negeri sumber bahan mentah.
Ketiga, sebagai negeri tempat penanaman modal.
Selain itu Indonesia punya ciri khas:
(a) secara geografis ekonomi karena letaknya di tengah-tengah kawasan konsumsi dan produksi yang berarti bagi ekonomi dunia, Indonesia menduduki suatu posisi penentu di dalam lalu lintas ekonomi dunia;
(b) secara geo-ekonomi karena tanahnya yang mengandung kekayaan bahan-bahan mentah mineral serta permukaan tanahnya yang dapat menghasilkan bahan-bahan mentah pertanian untuk ekonomi dunia;
(c) secara ekonomi sosial oleh karena penduduknya yang giat bekerja sekalipun dengan suatu tingkat hidup yang rendah; massa yang enam puluh juta jiwa merupakan kelompok konsumen hasil industri yang setiap tahunnya beratus-ratus juta gulden;
(d) secara iklim yakni suatu iklim tropis yang lunak dengan musim yang teratur;
(e) secara keuangan dengan tiadanya modal nasional dalam negeri serta suatu kehampaan industri. Semua itu menarik perhatian dan kegiatan modal luar negeri. Akan tetapi di atas segala-galanya, negeri dan rakyatnya merupakan unsur pasif di dalam perhatian dan kegiatan internasional.
Tersirat dari analisis Dr Ratulangie, betapa pentingnya Indonesia untuk memanfaatkan kondisi obyektif dalam konstalasi pertarungan global di kawasan ini, dengan terlebih dahulu mengenali agenda-agenda strategis kekuatan-kekuatan global yang bermain di Asia Pasifik.
Melalui kesempatan kajian kali ini, mari bersama-sama kita bedah
Strategis Global AS dan Cina di abad 21 ini.
Membedah Agenda Strategis AS Lewat Council of Foregin Relations (CFR) dan Rand Corporation
Mari kita telusur kembali dokumen-dokumen lama terkait dengan beberapa rekomendasi para perumus kebijakan luar negeri AS sejak 2002. Dari penelusuran Tim Riset Global Future Institute, Asia Tenggara nampaknya jadi fokus utama kajian-kajian dan rekomendasi para perumus kebijakan luar negeri di Washignton.
Sebuah laporan utama yang dikeluarkan CFR pada Mei 2001, satu setengah tahun sebelum peristiwa 12 Oktober 2002 Bom Bali menulis:
“Waktunya tepat sekali bagi pemerintahan anda untuk memfokuskan perhatian terhadap suatu kawasan yang selama ini acapkali terabaikan dari perhatian kita, yang akibatnya selalu menimbulkan bencana bagi kita (This is a timely moment for your administration to focus on a region that too often in the past has fallen off our country radar screens, always to our peril).
Laporan CFR ini ditujukan pada Presiden George W Bush sebagai bahan-bahan penyusunan arah kebijakan strategis Gedung Putih terkait Asia Tenggara. Rekomendasi Ini tentu saja punya implikasi yang cukup serius mengingat CFR dalam menyusun laporan dan rekomendasi kebijakan luar negeri selalu melibatkan keikutsertaan kelompok akademis dari berbagai universitas terkemuka, Eksekutif Korporasi, kalangan sektor perbankan, profesional seperti komunitas pengacara, dan bahkan dari kalangan pelaku media massa baik cetak maupun elektronik. Praktis, melalui CFR inilah, seluruh aspirasi para stakeholders atau Pemangku Kepentingan kebijakan luar negeri AS, duduk dalam satu meja merumuskan arah kebijakan luar negeri AS.
Rekomendasi CFR yang dirilis pada Mei 2001 tersebut, bahkan masih relevan hingga saat ini. Kala persaingan global antara AS dan Cina semakin memanas di kawasan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Dalam rekomendasinya, CFR menekankan, bahwa untuk melawan pengaruh Cina yang makin membesar di kawasan Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan bernilai sangat strategis, maka Amerika harus mengambil langkah-langkah yang lebih jelas dan lebih tegas. Dari laporan CFR ini jelas bahwa Laut Cina Selatan secara eksplisit disebut-sebut.
Karena itu, lebih lanjut dokumen CFR tersebut mengemukakan kepentingan AS di kawasan Asia Tenggara:
“Bahkan dengan mengabaikan ingatan akan terjadinya tragedi perang Vietnam, sulit untuk menerima ada satu kawasan seluas itu, dengan penduduk hampir 525 juta jiwa dengan GNP 700 miliar dolar setahun, yang merupakan mitra dagang kelima kita, sampai bisa terlupakan dalam kebijakan luar negeri AS. Hal ini tidak boleh sampai terjadi, khususnya terhadap suatu bagian dunia, dimana Amerika telah pernah melibatkan diri dalam tiga perang besar dalam tempo enam dasawarsa, dan dimana, krisis keuangan 1997-1998 yang terjadi disana, telah mengancam mendestabilisasi sistem keuangan seluruh dunia.“
Lalu adakah sorotan khusus CFR terhadap Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara? Simak rekomendasi CFR selanjutnya:
“Yang perlu diperhatikan secara khusus adalah cadangan minyak dan gas bumi serta tingkat produksi di Indonesia dan Brunei. Indonesia adalah satu-satunya anggota OPEC yang mengekspor 20% dari produk LNG dunia, sedangkan cadangan yang dimilikinya belum sepenuhnya diketahui. Ladang minyak dan gas bumi terus ditemukan di sana, di Malaysia, di Vietnam, dan di Filipina.”
Jelaslah sudah. Meskipun pada saat laporan CFR ini ditulis Indonesia belum keluar dari keanggotaannya di organisasi pengekspor minyak OPEC, namun sisi strategis yang digarisbawahi Amerika adalah betapa Indonesia dan negara-negara di kawasan ASEAN, mempunyai potensi kandungan minyak yang lebih besar daripada yang dibayangkan. Kosa kata yang dipalkai “Belum sepenuhnya diketahui” mengandung makna bahwa cadangan minyak Indonesia memang masih cukup besar. Maka tak heran, jika parra pakar perminyakan kita seringkali menegaskan perlunya kita mendapat informasi yang akurat berapa lifting minyak kita yang sesungguhnya. Karena dengan dikuasainya 70 persen blok migas kita oleh korporasi-korpirasi asing (khususnya The Seven Sisters), maka kita sesungguhnya tidak punya akses informasi untuk mengetahui seberapa besar cadangan minyak dan gas kita saat ini.
Sekadar ilustrasi. Kenyataan bahwa di Sampang Madura, Jawa Timur, terungkap mampu menghasilkan 14 ribu barel per hari minyak bumi, yang berarti mampu menghasilkan uang minimal senilai 1,4 juta dolar Amerika Serikat per harinya, jelas Indonesia pastilah dipandang Washington punya nilai strategis secara geopolitik. Sehingga akan berusaha untuk merebut pengaruh dan kuasa wilayah tersebut melalui berbagai sarana dan modus operandi.
Maka bisa dipahami jika laporan CFR ini menekankan arti pentingnya kawasan Asia Tenggara berkenaan dengan sumber daya energi minyak dan gas bumi, mengingat selama ini sektor strategis ini merupakan pendorong utama dalam pengembangan strategi kepentingan nasional AS.
Dokumen ini menunjuk arti strategis kawasan ini sebagai sebuah tempat yang memiliki arti geopolitik penting pada persimpangan alur laut paling kritis di dunia. Begitu istilah yang digunakan CFR. Karena lebih dari 1,3 triliun dolar AS barang dagangan diangkut melalui Selat Malaka dan Selat Lombok. Data ini menggambarkan bahwa nyaris separoh dari nilai perdagangan dunia-termasuk minyak yang krusial dari Teluk Persia ke Jepang, Korea Selatan, dan Cina.
Karena itu CFR mengingatkan:
“Akibatnya, setiap gangguan atau pengalihan terhadap alur pasokan minyak tersebut akan mengakibatkan pengaruh yang berdampak menghancurkan ekonomi Asia Timur, dan pada perkembangannya dampak sekunder yang tidak terbayangkan terhadap ekonomi Amerika juga.”
Pada tataran ini kelihatan jelas penyakit paranoidnya para elit politik di Washington.
Kecemasan yang akhirnya dirumuskan menjadi peringatan melalui rekomendasi CFR, maka kemudian dokumen ini merumuskan ini sebagai masalah dan ancaman nasional Amerika di masa depan.
Sehingga dokumen CFR ini merekomendasikan perlunya dan bahkan keharusan untuk mencegah intervensi oleh sebuah kekuatan rival lain, melalui saran yang disampaikan kepada penasehat keamanan nasional (National Security Council). Kekuatan rival yang dimaksud dalam dokumen ini tak pelak lagi adalah Cina dan Rusia.
Karena itu dalam rekomendasinya, CFR menekankan untuk menguasai kawasan ini, sehingga kontrol atas alur laut yang mempunyai nilai kunci, atau choke points, di seluruh Asia Tenggara akan menempatkan Washington pada posisi yang mampu menekan Cina.
“Dengan memperkuat kehadiran militer di kawasan ini, Amerika Serikat akan mampu menghadapi tantangan klaim Cina di Laut Cina Selatan dan pulau-pulau yang dipersengketakan seperti Spraley dan Paracel.”
Paragraf ini lagi lagi menjelaskan secara terang benderang bahwa fokus utama dan sasaran strategis Washington adalah penguasaan cadangan minyak dan gas bumi yang diprediksi punya kandungan yang cukup besar di wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan.
Sisi menarik dari modus operandi kehadiran militer AS yang luput dari amatan dan liputan media massa adalah, terumuskan dalam dokumen CFR ini:
“Amerika Serikat harus memelihara kehadiran kekuatan militer yang handal melalui suatu program latihan bersama sekawasan yang didukung oleh infra struktur yang efektif.”
Karena itu sudah sewajarnya Indonesia mewaspadai segala macam bentuk kegiatan seperti latihan militer bersama dan forum gabungan lintas negara yang biasanya sepenuhnya berada dalam supervise Pentagon. Baik pelatihan militer antar angkatan maupun antar negara. Maupun program pelatihan dalam bentuk pertukaran tingkat perorangan perwira maupun kelompok kecil.
Namun, CFR bukan satu-satunya rujukan atau narasumber bagi para pelaku kebijakan luar negeri AS dalam perumusan arah kebijakan strategisnya.
Membedah Dokumen Rand Corporation Tahun 2000
Pada 2000, sebuah think–thank yang dibiayai Pentagon, Rand Corporation, dalam sebuah studinya bertajuk The Role of the Southeast Asia in the US Strategy toward China, secara terang-terangan meminta perhatian akan bahaya yang dihadapi oleh Cina terhadap kehadiran Amerika di Asia Tenggara. Dan menyarankan untuk mengembangkan suatu strategi yang mereka sebut hedging strategy (Strategi Memagari). Sebuah istilah baru untuk menggantikan konsepsi lama containment strategy (Strategy Pembendungan) yang digunakan di era Perang Dingin. Istilah hedging strategy ini digunakan Rand Corporation untuk membenarkan alasan AS perlunya menghadirkan dan memperkuat kehadiran dan akses militer AS atas berbagai fasilitas yang diperlukan guna membendung pengaruh Cina.
Strategi AS untuk membendung Cina di Asia Tenggara nampaknya memang tidak main main. Laporan Rand Corporation secara tegas dan lugas menekankan:
“Munculnya Cina sebagai kuasa regional yang baru dalam tempo 10 sampai 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan Amerika Serikat dan Cina di Asia Tenggara dan akan meningkatkan potensi konflik bersenjata.”
Meskipun Laporan Rand Corporation ini dirilis pada 2000 semasa pemerintahan Bush, namun pemerintahan Obama bisa dipastikan tetap akan merujuk pada rekomendasi Rand Corporation tersebut. Karena untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, akan sangat tergantung pada kemampuan memelihara kehadiran dan pengaruh Amerika di kawasan itu, serta terbukanya akses tanpa hambatan ke jalur-jalur laut yang ada di kawasan itu.
Di sinilah posisi krusial Indonesia dan ASEAN ke depan menjadi tak terhindarkan lagi. Karena seperti tertulis dalam Laporan Rand Corporation, Amerika perlu membina hubungan yang kuat dengan negara-negara ASEAN. Secara khusus Rand Corporation menyebut Singapore, Filipina dan secara khusus pada Vietnam, ditengarai memiliki posisi strategis untuk mengepung Cina. Khususnya Singapore dinilai berlokasi sangat ideal untuk menguasai choke points (titik titik kunci) seperti Selat Malaka, serta akses menuju Vietnam dan Filipina. Sehingga bisa membantu untuk membangun superioritas udara atas jalur-jalur di Laut Cina Selatan.
Karena itu tidak heran jika Rand Corporation dalam dokumennya menyarankan untuk mengembangkan program bantuan yang bersemangat terhadap para sekutu di kawasan Asia Tenggara, khususnya Filipina.
Aspek paling krusial dari rekomendasi Rand Corporation adalah, menyarankan pemulihan hubungan militer-militer dengan Indonesia secara penuh dan memulihkan pengalihan perlengkapan militer dan suku cadang dalam rangka mencegah ambruknya kemampuan pertahanan Indonesia. Namun istilah tersebut hanya sekadar digunakan untuk dalih pengembangan program bantuan yang bersemangat atau a robust security assistance program to allies in the region.
Membaca Modus Perang Asimetris Tiongkok di Indonesia
Sebelum beranjak lebih jauh ihwal topik ini, ada baiknya secara ringkas saya gambarkan dulu apa itu perang Asimetris. Berdasarkan kajian dan diskusi intensif di Global Future Institute, Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer), tetapi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer.
Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tidak hanya satu atau dua aspek, tetapi bisa beragam aspek. Ia dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda.
Sasaran perang asimetris ini ada tiga: (1) membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme, (2) melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat, dan (3) menghancurkan food security [ketahanan pangan] dan energy security [jaminan pasokan dan ketahanan energi] sebuah bangsa, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain dalam hal food and energy security”.
Ketika persaingan global AS dan Tiongkok semakin menajam di kawasan Asia Pasifik yang berdampak langsung pada Indonesia, peta kekuatan kedua adidaya wajib kita identifikasi dengan seakurat mungkin.
Terkait AS, tadi sudah penulis uraikan panjang lebar. Lantas bagaimana membaca Perang Asimetrik Cina dan mengapa Tiongkok lebih mengutamakan Perang Asimetrik dalam menguasai negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia?
Sebelum bicara tentang modus perang nirmiliter yang dikembangkan Cina, sebaiknya membahas secara sekilas dulu perihal kekuatan militernya. Meski kemajuan militer terutama angkatan lautnya cukup signifikan, akan tetapi Cina sebenarnya menghadapi kendala struktural terkait geostrategi militer, kenapa? Sistem pertahanan Cina itu sangat tergantung pada laut lepas, termasuk dalam hal ini pengamanan jalur “energy security”-nya.
Masalah krusial yang dihadapi Cina dalam pertarungan global dengan AS di kawasan ini adalah, Konfigurasi perairannya baik di Laut Cina Selatan maupun Laut Cina Timur sangatlah mudah diblokade pihak luar. Laut Cina Timur contohnya, terbentang di antara wilayah Korea, Jepang dan Taiwan, sedangkan Laut Cina Selatan pada bentangan antara Taiwan, Filipina, Indonesia dan Singapura.
Keprihatinan besar Beijing hingga kini adalah rencana blokade oleh AS di Laut Cina yang niscaya akan berdampak langsung terhadap perekonomian secara menyeluruh apabila hal itu terjadi.
Barangkali inilah shock and awe (gertak menakut-nakuti) yang dijalankan AS dalam rangka “melemahkan mental” Cina. Belum lagi masalah munculnya ancaman dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina, dan lainnya. Makanya, ketika ia beraksi membangun pangkalan militer di Spratly —pulau konflik— berdalih reklamasi mengembangkan sektor sipil, AS pun bereaksi atas rencana tersebut lalu melakukan patroli udara di sekitaran langit Spratly. Inilah sekilas mapping kekuatan militer Cina dihadapkan dengan potensi serta prakiraan ancaman kedepan.
Maka itu, mengimbangi pengaruh AS yang begitu kuat secara militer di Asia Pasifik, Cina lebih menekankan pola perang nirmiliter dalam menguasai wilayah-wilayah yang bernilai strategis secara geopolitik di kawasan Asia Pasifik, Asia Tenggara, dan tentunya Indonesia. Dan untuk itu, kekuatan ekonomi Tiongkok merupakan landasan utama kekuatannya untuk bermain di kawasan ini.
Kedigdayaan Tiongkok di bidang ekonomi dibandingkan AS semakin terlihat ketika perusahaan Tiongkok menjadi operator strategis Pelabuhan Gwadar yang terletak di dekat Selat Hormuz dan merupakan pelabuhan paling sibuk untuk jalur pelayaran minyak, sejak Februari 2013.
Tiongkok menanamkan investasi sebesar USD 250 juta untuk mengambil alih operasional perusahaan dalam rangka meraih keuntungan yaitu mengurangi biaya pengiriman barang dari Tiongkok ke Timteng dan Afrika. Namun, langkah itu juga dapat diartikan memberikan warning kepada AS bahwa geopolitik utama Tiongkok telah dialihkan ke kawasan Asia Pasifik.
Pada saat bersamaan, AS meningkatkan kekuatan militernya di Singapura dan Filipina. Di New York, mantan Kepala Ekonom Bank Dunia, Lin Yifu mengatakan, perekonomian Tiongkok mampu tumbuh 8% per tahun selama 20 tahun ke depan, meski dengan embel-embel Tiongkok harus melakukan reformasi. Begitupun, kekuatan ekonomi Tiongkok dengan jelas tergambar.
Harian berbahasa Mandarin, Yinni Xingzhou Ribao melaporkan, periode Januari s/d November 2012, investasi langsung Tiongkok ke luar negeri (merger dan akuisisi) di sektor non finansial mencapai USD 62,5 miliar (naik 25%), proyek kontrak di luar negeri sebesar USD 102,4 miliar (naik 18,7%) dan jumlah kontrak baru sebesar USD 128,8 miliar (naik 12,9%). Prediksi dari Bank Dunia menggambarkan bahwa di tahun 2020 Tiongkok akan mampu menggeser posisi AS. Jika pola ini berlanjut di tahun 2050, Cina akan menjadi negara hegemonik baru.
Barang tentu, meski hanya sekadar prediksi, mengundang kekhawatiran besar di Washington. Sehingga kekhawatiran tersebut mendorong Paman Sam untuk meningkatkan skala kekuatan militernya di kawasan Asia Pasifik. Tujuannya, untuk meminimalisir situasi yang tak terduga.
Perang Asimteris ala Tiongkok Lebih Unggul Dibanding AS
Lantas bagaimana pemerintahan Jokowi-JK memandang persaingan global AS versus Tiongkok saat ini? Pada tataran ini pemerintah harus pandai-pandai membaca tren global saat ini. Saat ini, para pemangku kebijakan strategis politik luar negeri kita harusnya sudah membaca adanya kemunduran hegemoni AS yang ditandai terjadinya stagnasi ekonomi sejak tahun 2008.
Stagnasi ekonomi ini membuat semakin besarnya defisit anggaran dan perdagangan AS yang melemahkan posisi mata uang dollar sebagai mata uang internasional dibandingkan yuan. Kemunduran hegemoni AS ini juga diikuti dengan terjadinya kompetesi strategis antara AS dan Tiongkok, terutama di sektor keamanan energi. Manuver Tiongkok mencari minyak dan gas dari Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara kemudian bersinggungan dengan kepentingan liberalisasi ekonomi dan politik AS di wilayah ini.
Salah satu kunci Tiongkok lebih kuat dari AS, karena untuk mewujudkan ”China Dream”, yang menjadi simbol kebangkitan etnis Tionghoa, Xi Jinping (Presiden Tiongkok ) dan Li Keqiang (PM Tiongkok), maka Tiongkok -Hongkong dan Makau harus saling bekerjasama dan saling melengkapi. Tiongkok tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Tiongkok perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” tersebut. Langkahnya adalah semua elemen Tiongkok dimanapun berada adalah “satu bangsa” melalui program cultural nationalism.
Hal tersebut ditegaskan, Martin Jaques dalam bukunya ”When China Rules The World”.
Inilah salah satu faktor mengapa dalam Perang Asimetris (upaya menaklukkan suatu negara melalui sarana-sarana non militer), Tiongkok lebih unggul daripada AS.
Hasil akhir Konferensi Asia-Afrika sebagai produks konsensus berupa tiga dokumen: Bandung Messsage, Kemitraan baru Asia-Afrika dan soal Kemerdekaan Palestina, memang membuka berbagai kemungkinan baru ke depan. Apalagi Pidato Presiden pada pembukaan KTT Asia-Afrika Jokowi menggarisbawahi masih berlangsungnya ketidakadilan internasional khususnya di bidang ekonomi. Serta serangan frontalnya terhadap tiga lembaga ekonomi internasional (World Bank, International Monetary Fund dan Asian Devolopment Bank).
skema Cina dalam penguasaan geopolitik jalur sutra, yang mana Indonesia termasuk mata-rantai penting yang menjadi sasaran strategis Cina, perlu disadari bahwa kolonialisme model baru sering muncul dalam wujud investasi asing untuk penaklukan suatu negara.
Inilah yang disebut serangan asimetris terhadao suatu bangsa namun sialnya bangsa yang diserang kerap tidak menyadarinya. Investaai dalam bentuk insfrastuktur pelabuhan justru sangat berbahaya bagi kondisi geopolitik suatu bangsa,karena akan terkait dengan sistem pengamanan maritim pelabuhan. Begitu investor asing, dalam hal ini Cina berhasil menguasai sistem dan mekanisme untuk mengatur pengamanan maritim Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), maka bencana geopolitik tak terhindarkan lagi.
Ya, bencana geopolitik di Indonesia secara massif dan sistematis. Efek jangka pendeknya, Cina akan mendatangkan ribuan tenaga kerjanya sendiri dan sudah dapat ditebak akan berbondong-bondong migrasi secara massal dari Cina, tetapi atas nama atau dengan cover investasi asing. Buktinya mana? Cina telah melakukan hal serupa di Afrika. Ia sangat berpengalaman soal migrasi besar-besaran tersebut.
Sedangkan dampak jangka menengahnya? Apa boleh buat, negeri ini niscaya dibanjiri berbagai produk konsumen dan sejenisnya dari Cina dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan (hidup) para pekerja tersebut. Ya, impor tak terbendung. Impor pun semakin meluas, dan sudah barang tentu —- impor menggerus devisa negara.
Lantas, dampak jangka panjangnya seperti apa? Di sinilah agenda tersembunyi Cina bisa terbaca. Cina akan memperoleh hak mengelola pelabuhan-pelabuhan yang dibangunnya minimum 30-an tahun atau bahkan lebih. Artinya, bahwa sistem pengelolaan baik di pelabuhan laut maupun (bandara) udara akan dikendalikan oleh Cina. Silahkan bayangkan sendiri, apabila simpul-simpul strategis sebuah bangsa terkait transportasi untuk distribusi barang dan jasa dalam kendali asing. Bisa-bisai bangsa ini kelak bakal menjadi tamu di negeri sendiri, atau lebih tragisnya lagi, juga akan menjadi penonton atas geliat asing mengeksploitasi segala sumberdaya di Bumi nusantara ini.
Bicara soal penguasaan pelabuhan, inilah yang dilakukan Belanda (baca: VOC) ketika menanam benih-benih kolonialisme di Indonesia. Penjajahan Belanda di bumi nusantara khususnya di tanah Jawa, bermula ketika kapal-kapal dagang kompeni Belanda VOC yang bersenjatakan meriam, berikut kapal frigat pengawalnya, hilir-mudik dari dan ke berbagai wilayah nusantara, mencari pos-pos persinggahan untuk mengisi logistik dan persediaan air tawar, serta tentu saja kebutuhan akan dok untuk perbaikan kapalnya.
Namun di sinilah benih-benih kolonialisme ditanam oleh Belanda. Meski lambat namun pasti, pos persinggahan tersebut berkembang jadi benteng dan bandar kota, yang pada perkembangannya dimulailah sistem sewa pinjam, kemudian berlanjut menjadi penguasa koloni.
Strategi Cina dalam menanam dan menebar benih kolonialisme gaya baru terhadap Indonesia, jelas patut diwaspadai mengingat Cina emang jagonya perang asimetris, dengan menggunakan sarana sarana non militer untuk penaklukkan sebuah bangsa. Dan mereka punya ahlinya Perang Asimetris, Sun Tzu.
Ada sebuah panduan dari Sun Tzu yang pastinya dihayati betul oleh Presiden Cina Xi Jinping. Berkata Sun Tzu: Mendapatkan seratus kemenangan dari seratus pertempuran bukanlah puncak kecakapan. Menaklukkan musuh tanpa bertempur adalah sebenarnya puncak kecakapan.
Kesadaran geopolitik pemerintahan Jokowi-JK harus mendasari kerjasama strategis dengan negara asing.Apalagi, Geo posisi silang Indonesia yang meniscayakan 50 persen perdagangan dunia melalui perairan Indonesia,itulah yang sedang diperebutkan oleh para adidaya, khususnya antara Amerika Serikat versus Cina
Dan Cina, memang sudah menyiapkan anggaran tak terbatas untuk melancarkan skema kolonialisme berkedok investasi asing ke pelbagai negara, termasuk Indonesia. Betapa tidak. Cina saat ini punya cadangan devisa 3 triliun dolar AS. Dan 1 triliun di antaranya akan diinvestasikan dalam bentuk aset di luar negeri (Geoff Hiscock, Earth Wars).
Jika rencana ini benar-benar dilakukan, berarti Indonesia termasuk salah satu negara yang dialokasikan untuk jadi sasaran investasi dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.
Bagi Cina, penguasaan pelabuhan agaknya memang amat penting dalam perhitungan geopolitik dan geostrategi mereka. Sedemikian rupa pentingny, sehingga negri tirai bambu itu begitu terobsesi untuk menguasai wilayah-wilayah yang punya akses ke pelabuhan di beberapa negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Rupanya, selain pertimbangan strategis untuk mengimbangi pengaruh militer AS di kawasan Asia Pasifik saat ini, Cina pun punya trauma sejarah dengan Inggris di masa lalu, sehingga menguasai pelabuhan identik dengan penguasaan kedaulatan wilayahnya.
Hal ini bisa ditelusur kembali melalui cerita seputar meletusnya Perang Candu pertama antara Inggris dan Cina pada 1839-1842. Semua itu bermula ketika komisioner perdagangan luar negeri kekaisaran Cina Lin Zexu memutuskan untuk mengakhiri perdagangan dengan diplomasi dan kemudian secara paksa, menyita dan menghancurkan 20 ribu peti opium yang ditemukan di gudang-gudang pedagang asing di Guangzhou pada Juni 1839.
Tindakan otoritas politik kekaisran Cina itu mengundang kemarahan Inggris, sehingga meletuslah Perang Candu pertama. Akibatnya, pasukan Inggris kemudian menduduki Shanghai dan mengepung Guangzhou dan pelabuhan Cina lainnya.
Berdasarkan ketentuan penyerahan Cina, lima pelabuhan dibuka untuk perdagangan internasional dan pulau Hongkong diserahkan kepada Inggris. Perang Candu kedua (1856-1860), Cina kembali menderita kekalahan, sehingga Inggris mendapat tanah tambahan di Semenanjung Kowloon ke koloni Inggris di Hongkong.
Sedemikian pentingnya pelabuhan bagi Cina, tergambar melalui fakta bahwa enam dari sepuluh pelabuhan container tersibuk di dunia ada di Cina, yang dipimpin oleh Shanghai dengan 29,1 juta TEU(satuan unit setara 20 kaki) pada 2010; Shenzhen dan Guangzhou bersama-sama menangani 45 juta setahun. Hongkong yang berdekatan menangani 23 juta TEU. Bahkan Singapore yang pernah memimpin perekonomian dunia(28 juta pada 2010) sekarang berada di peringkat kedua dalam alur distribusi dan keluaran container tetapi tetap merupakan pelabuhan tersibuk di dunia dalam total tonase pengiriman.
Bahkan Jepang pun sudah tergeser oleh Cina. Pada 1989, pelabuhan Kobe Jepang berada di peringkat kelima pelabuhan container top dunia dan Yokohama dan Tokyo berada di top 20. Pada 2010, tidak ada satupun pelabuhan Jepang di antara top 20.
Maka tak heran jika Cina memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke Hongkong, Shenzhen, Guangzhou, dan pelabuhan Cina lainnya agar tetap terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin String of Pearly Cina yang gagasan dasarnya adalah sebagai doktrin penguasaan maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah yang melewati Laut Cina Selatan.
Maka, Laut Cina Selatan menjadi penting dan vital bagi Cina, utamanya sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, khususnya untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia, Cina amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka, yang membentang 800 km(500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan Semenanjung Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, yang mengarah ke Laut Cina Selatan.
Cina seperti halnya juga dengan Amerika, Rusia, Jepang dan India, menyadari betul bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak melintasi Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.
Dengan demikian, di tengah perekonomian Cina yang semakin digdaya saat ini, Laut Cina Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina. Apalagi Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di dunia melewati perairan Laut Cina Selatan.
Maka itu tak heran jika Cina saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku (yang di Cina dikenal sebagai Diaoyutai).
Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sempat menyinggung tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point (MSRP).
Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Cina akan membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia. Sehingga sebagai imbalannya, Cina sebagai investor pada perkembangannya ke depan akan menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia.
Berdasarkan pada tawaran kerjasama Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP, apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia dan Cina?
Ini penting mengingat kenyataan bahwa Cina memang mempunyai sasaran strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan, yang merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.
Sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Cina dan Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat kenyataan bahwa saat ini Vietnam secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka rencana Cina untuk membangun kerjasama ekonomi dengan Indonesia dengan menanam investasi di Bitung, Sulawesi Utara, kiranya patut diwaspadai. Seusai pertemuan antara Menko Perekonomian Chairul Tanjung dan Duta Besar Cina H.E. liu Jianchao, Cina akan menetapkan Indonesia sebagai wilayah target investasinya. Bahkan bukan itu saja. Cina ingin masuk dalam satu kawasan ekonomi khusus (KEK) di Indonesia.
Dan sasaran Cina untuk diintegrasikan melalui skema KEK adalah Bitung, Sulawesi Utara. Di Bitung, salah satu kota di Sulawesi Utara, Cina akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi Cina, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.
Prakiraan akan bercokolnya kepentingan strategis militer Cina dibalik skema KEK, terlihat dari beberapa indikasi. Antara lain adalah:
Pertama, ambisi Cina membangun sendiri infrastrukturnya terutama bandara udara dan pelabuhan laut. Pola ini hampir mirip saat Cina membangun pelabuhan-pelabuhan laut pada beberapa negara pesisir (tepian) di Kawasan Jalur Sutera (laut) sebagai implementasi string of pearl, strategi handalnya untuk mengamankan “energy security” (ketahanan energi)-nya;
Kedua, secara kultur, agama dan ras (maaf), langkah Cina membangun KEK di Bitung kemungkinan tidak bakal ada penolakan secara signifikan dari masyarakat sekitarnya, bahkan cenderung diterima dengan tangan terbuka karena dinilai justru bisa meningkatkan perekonomian wilayah timur;
Ketiga, letak Bitung di antara dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan ALKI III, dimana secara geoposisi cukup strategis, karena selain Sulawesi Utara dianggap pintu gerbang Indonesia (dari Timur) menuju Asia Pasifik, ia juga dapat mengendalikan dua ALKI sekaligus;
Keempat, pembangunan KEK di Bitung, kemungkinan selaras dengan “welcome”-nya Timor Leste terhadap militer Cina, sebagaiman dikatakan oleh Xanana Gusmao. Artinya kelak akan ada interaksi secara masif antara Bitung dan Timor Leste melalui ALKI III-A;
Kelima, inilah kontra-strategi Cina dalam rangka membendung gerak laju Amerika (AS) di Asia Pasifik, kendati “aura” Paman Sam sebenarnya lebih dulu menebar di Indonesia Timur baik via pangkalan militer di Philipina, dll maupun melalui World Ocean Conference (WOC) 2009 di Menado. Itulah jawaban (sementara),
“Kenapa Cina memilih Bitung?”
Dari kajian geopolitik, sepertinya Sulawesi cq Bitung hendak dijadikan semacam proxy war antara Cina versus AS. Keduanya hendak-saling berebut pengaruh sebagaimana terjadi di banyak negara Afrika, Cina via “Pendekatan Panda”, sedang Paman Sam —seperti biasa—melalui penyebaran (pangkalan) militernya.
Pertanyaannya kini, “Bagaimana nasib geopolitik Indonesia nantinya?”
Mengurai Pakem Perang Asimetris ala Tiongkok
Memang belum ada rujukan yang pasti. Namun jika dilacak dari model kebijakan politik terbaru yang dikembangkan ketika hendak memasuk abad ke 21. Betapa Tiongkok sejak reformasi, menurut Prof. Wang Gung Wu dalam seminar di CSIS, 16 November 1997, mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme yang melahirkan One Country and Two System, yakni sistem negara dengan eloborasi ideologi sosialis/komunis dan kapitalis. Dengan kata lain, model perekonomian boleh saja bebas sebagaimana kapitalisme berpola mengurai pasar, namun secara politis tetap dalam kontrol negara cq Partai Komunis Tiongkok.
Poin penting di sini, titik berat konsep ini adalah swasta pada satu sisi, sedang peran negara diperkecil di sisi lain. Artinya, para pengusaha boleh di depan membuka ladang-ladang usaha-usaha di luar negeri, tetapi ada back up militer (negara) di belakangnya. Itu titik poin konsepsi One Country and Two System yang kini tengah dijalankan oleh Tiongkok di berbagai belahan dunia.
Ciri lain Tiongkok dalam menerapkan reformasi politiknya, jika kedalam ia gunakan ‘pendekatan naga’ terhadap rakyatnya. Sangat keras, tegas, bahkan tanpa kompromi demi stabilitas di internal negeri. Kasus di lapangan Tianamen merupakan bukti nyata, betapa Negeri Tirai Bambu tidak terpengaruh oleh angin syurga demokrasi, HAM, freedom, dll yang digemborkan oleh Barat. Termasuk dalam hal ini adalah hukuman (tembak) mati bagi para koruptor, dan lain-lain.
Lalu ketika Tiongkok melangkahkan kaki keluar, tata cara pun diubah, ia menerapkan ‘pendekatan panda’ (simpatik). Sangat bertolak belakang dengan kebijakan internalnya. Menebar investasi misalnya, ataupun “bantuan dan hibah” dalam wujud pembangunan gedung-gedung, infrastruktur, dll sudah barang tentu dengan persyaratan “tersirat”-nya yang mengikat.
Turnkey Project Management
Ini merupakan sebuah model investasi asing yang ditawarkan dan disyaratkan oleh Tiongkok kepada negara peminta dengan “sistem satu paket,” artinya mulai dari top manajemen, pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga (kuli) kasarnya di-dropping dari Tiongkok . Modus Turnkey Project ini relatif sukses dijalankan di Afrika sehingga warganya migrasi besar-besaran bahkan tak sedikit yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka menganggap Afrika kini sebagai tanah airnya kedua. Timor Leste pun tampaknya demikian, betapa bangunan fisik beberapa kantor kementerian bermotif ala Tiongkok yang katanya hibah dari pemerintahan Negeri Tirai Bambu. Makanya Xanana Gusmao ketika menjabat Perdana Menteri sangat welcome terhadap militer Tiongkok.
Beberapa investasi Tiongkok di Indonesia, sebenarnya telah menerapkan modus ini. Bukan barang baru memang, karena sejak dulu sudah berjalan. Penelusuran penulis, Sinar Mas (Indah Kiat) ketika membangun pabrik pulp dan paper juga menerapkan Turnkey Project. Atau pembangunan pembangkit tenaga listrik di Purwakarta, hampir semua tenaga kerja mulai dari direksi hingga kuli bangunan didatangkan dari negeri Tiongkok. Demikian juga sewaktu pembangunan Lippo Karawachi dekade 1990-an dikerjakan oleh para pekerja Tiongkok, termasuk di Muara Jawa, Kutai Kertanegara, dan lain-lain.
Maka boleh ditebak, bahwa (rencana) pembangunan Terusan Brito di Nikaragua dan Kanal Isthmus di Thailand oleh Cina niscaya menerapkan Turnkey Project Management pula. Artinya bakal ada migrasi besar-besaran warga Tiongkok ke Nikaragua dan Thailand guna mengerjakan proyek spektakuler tersebut sebagaimana yang akan terjadi di Medan, dimana Tiongkok membawa sekitar 50.000 orang tenaga (warga) kerjanya.
Bila investasinya di Medan saja mendatangkan sekitar 50.000-an orang, lalu berapa warga lagi bakal migrasi melalui investasi Tiongkok pada 24 pelabuhan laut, 14 pelabuhan udara dan sekitar 8000-an kilometer jalur kereta api di Indonesia, selain rencana mempererat hubungan bilateral Tiongkok – Indonesia menargetkan pertukaran sepuluh juta warganya dalam berbagai bidang pada dekade 2020-an nanti?
Menurut Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH), Hatta Taliwang, rencana tersebut berpeluang menimbulkan persaingan budaya antara warga Tiongkok dengan pribumi. Bisa terjadi pertarungan untuk mempertahankan siapa lebih dominan, mengingat jumlah 10 juta jiwa itu bukan sedikit.
Dikhawatirkan hal ini merupakan strategi Tiongkok untuk menguasai Indonesia secara non militer. Secara perlahan ia memasukkan warganya ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran di sektor-sektor strategis di Indonesia diganti warga Tiongkok. Hingga akhirnya, pemilik Indonesia bukanlah orang-orang keturunan nusantara, tetapi adalah orang-orang Tiongkok.
Kesimpulan Umum
Dengan bergesernya pertarungan global antara AS versus Tiongkok di Asia Pasifik, maka perlu disadari bahwa baik AS maupun Tiongkok sama-sama mempunyai kebijakan strategis dan doktrin pertahanan-keamanan dalam rangka menguasai wilayah strategis di Jalur Sutra, khususnya Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. AS mempunyai doktrin yang disebut the US Commission on Ocean Policy, sedangkan Cina mempunyai the String of Pearl sebagai rencana strategis untuk menguasai Jalur Sutra.
Menyadari realitas politik global kedua negara adidaya tersebut, maka dalam membangun persekutuan strategis dengan negara-negara adidaya, Indonesia harus bertumpu pada politik luar negeri berbasis geopolitik, selain menjabarkan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif secara kreatif dan imajinatif, sesuai perkembangan dan tantangan zaman yang dihadapi saat ini.
Intinya, Indonesia harus mewaspadai dan membaca secara jeli tujuan strategis AS maupun Cina di Indoenesia, sehingga mampu memainkan peran aktif sebagai salah satu aktor yang sadar geopolitik sehingga mempunyai daya tawar yang tinggi di mata negara adidaya: Baik AS, Uni Eropa, Cina, maupun Rusia. Sehingga aliansi strategis yang terjalin benar-benar bertumpu pada kesetaraan dan saling menguntiungkan keduabelah pihak.
Betapapun juga, perlu disadari bahwa posisi Indonesia secara geopolitik memang strategis. Betapa tidak.
Pertama, bahwa dalam perspektif politik (kolonialisme) global, Indonesia diletakkan: (1) sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju; (2) sebagai pasar bagi barang-barang jadi yang dihasilkan oleh negara-negara industri maju; dan (3) diposisikan sebagai pasar guna memutar ulang kelebihan kapital yang diakumulasi oleh negara-negara industri maju tersebut. Ketiga hal di atas adalah analisa Bung Karno tempo doeloe dan kini ternyata menjadi nyata adanya.
Kedua, faktor geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadikan Indonesia merupakan kawasan yang mutlak harus kondusif, aman dan nyaman bagi keberlangsungan hilir mudik pelayaran lintas negara bahkan benua, kenapa? Bahwa 80% perdagangan dunia melalui Indonesia dimana 50% adalah tanker-tanker minyak dunia.
Maka Indonesia sekarang, sebenarnya adalah proxy war (lapangan tempur) bagi para adidaya baik Barat maupun Timur tetapi dilakukan secara asimetris (non militer) dalam rangka memperebutkan hal-hal yang telah diurai di atas tadi.
Maka dari itu, seyogyanya sejak dari sekarang dan kedepan, segenap komponen bangsa ini secara bertahap wajib diajarkan tentang geopolitik (geostrategi, geoekonomi), terutama pemahaman tentang perang non militer (asymmetric warfare) beserta varian terbarunya seperti hybrid war, proxy war, dsb — agar anak-anak bangsa ini memahami secara mendalam serta utamanya tidak terseret oleh “skema kolonialisme” yang digelar oleh siapapun.
(Editor: Matulanda SUGANDI-RATULANGI)